Kamis, 29 Desember 2011

ISLAM DAN MASALAH SOSIAL KEMASYARAKATAN


NAMA       : IRWANSYAH
NIM           : 12110200 
KELAS      : 12.2B.24

ISLAM DAN MASALAH SOSIAL
 KEMASYARAKATAN
1. Pengantar
Menurut estimasi Juli 2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang dan tersebar di 17.000 pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil (lihat Lampiran 1).  Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai negara yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya. Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu Cu juga mulai kembali berpengaruh di Indonesia. Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka  bunga berwarna-warni.Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah.Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok  etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban  “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan. Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok,Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dll)  seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan? Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan peradaban bangsa kita? Masalah-masalah sosial apa sajakah yang mudah memunculkan konflik dalam masyaraat multietnik? Adakah metode yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik? Makalah ini bermaksud membahas masalah-masalah tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretense untuk membahas dan memberi jawaban dan solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan sekedar untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
2. Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep  pluralisme adalah buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan. Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi.  Selama pemerintahan yang otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar  SARA (Suku, Agama, dan Ras) merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhineka Tunggal Ika”  yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu.
Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai EraReformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA  itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas  (identity revolution).Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim orde baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif justru sudah mulai bangkit sebagai sebuah kekuatan basis.Kebijakan Era Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta menyelesaikan masalah keragaman ini.  Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih sukuis/etnosentris.  Contoh yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku.Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan  masih berpotensi untuk muncul. Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan manusia?
3. Masalah-masalah Sosial Pemicu Konflik
3.1 Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan,sejarah dan asal-usul (Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik. Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya,identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu.  Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, 1992:
3) yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat social yang telah ada… suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu (Isaacs, 1993:45). Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi (Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaianpenyesuaian dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga
menjadi sumber malapetaka. Di sisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan primordial dapat menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan mereka sendiri. Rasa kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik tertentu dapat dijadikan dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan bisnis  dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau  bahkan secarik kertaspun. Mereka melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampong halaman yang sama, berbahasa atau berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang sama, atau dari keturunan yang sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong untuk saling mempercayaai, minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan bahwa mereka memiliki perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri. Kesadaran etnik yang bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik merupakan suatu hal yang pasti dialami setiap orang. Identitas dasar ini merupakan sumber terbentuknya ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk aktivitas hidup manusia. Indonesia telah memulai program desentralisasi yang cukup radikal yang telah menimbulkan banyak permasalahan yang cukup rumit, khususnya tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah, dan juga kemungkinan melebarnya jurang ketimpangan jika kabupaten-kabupaten yang lebih kaya maju sangat pesat, meninggalkan kabupaten-kabupaten lainnya.
3.2 Ketidakadilan Sosial
Di negara yang sangat besar dan terdiri dari beragam etnis, selalu ada potensi bahaya dimana konflik ketenagakerjaan, pertanahan, atau konflik atas sumber daya alam akan muncul ke permukaan sebagai konflik antar etnis dan konflik antar agama. Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh, terbuka format politik baru yang memungkinkan pemunculan kembali berbagai pertikaian yang terjadi di masa lampau. Munculnya berbagai konflik ini akan menimbulkan dampak yang sangat buruk, yaitu menurunnya kepercayaan kepada lembaga-lembaga politik yang akan membahayakan keberlanjutan masa depan reformasi ekonomi Indonesia. Ketidakadilan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi lapisan subur bagi tumbuhnya konflik. Terbuka kemungkinan berbagai kepentingan dari luar sengaja memanaskan suhu. Namun,  ketidakadilan mendorong meletusnya konflik. Agama atau etnik menjadi seringkan digunakan sebagai legitimasi pembenar. Mereka kini menjadi lebih sadar akan hak-hak mereka, bukan saja hak di bidang politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya atas pangan, kesehatan, atau pekerjaan. Ketika masyarakat menekankan identitas kedaerahan dan identitas etnisnya, mereka tidak sekedar menuntut otonomi atau kebebasan politik yang lebih besar, tetapi mereka juga menyuarakan bahwa sebagian dari hak sosial dan ekonomi dasar mereka belum terpenuhi.
4. Solusi: Beberapa Isu Strategis Kebangsaan
Keberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.


4.1 Membangun Hubungan Kekuatan
Dalam masyarakat yang multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat kontraproduktif. Usaha bisnis yang  maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial. Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu suatu cara berhubungan antarindividu  atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu.  Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari peradaban manusia. Proses sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati (Pidarta, 1997:147).   Interaksi sosial akan terjadi apabila
memenuhi dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara totalitas.   Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen organik lainnya.   Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik. Peradaban adalah jaringan kebudayaan.Biasanya setiap budaya memiliki wilayah (Cohen,1970:64).  Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik. Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan, kesenian dan pendidikan.
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru.  Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah suatu kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam distribusi mobil  dapat menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.
4.2 Membangun Budaya Toleransi
Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat negara. Karena itu, toleransi lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan masyarakat bangsa. Sejalan dengan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantic ideologi Pancasila juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun dihentikan dengan berbagai  dampak, baik positif maupun negative. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai toleransi, identitas,  dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan tetapi, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain of national unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal. Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; kemampuan untuk  ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan.Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru saja menerbitkan sebuah buku saku berjudul  Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut Wacik, budaya berpikir positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif dan realistik  terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya telah hidup dalam kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini. "Semakin sering kita berpikir positif, semakin banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat primordialisme di antara kita akan menjadi semakin menipis. Sebaliknya, semakin sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki musuh. Dengan demikian, kehidupan bangsa kitapun akan menjadi semakin kerdil," demikian pernyataan Jero Wacik dalam sebuah pertemuan di Jakarta (18/2). Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya. Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam ini tentulah tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk itu tulisan ini hanya mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah contoh kasus dari ribuan fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.
4.3 Pendidikan
Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab.  Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi.  Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI). Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan (Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu kebudayaan.  Tolstoy beranggapan nilainilai masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang saling bertentangan. Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bias mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik.  Guru harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari berbagai latar belakang etnik.  Proses pembelajaran di kelas multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi.  Untuk ini, dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006).  Implementasi strategi pengajaran multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan  peradaban bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah. Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan fakta  keragaman etnik di dalam kelas.
5. Penutup
Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah himpunan kerajaan-kerajaan, wilayah-wilayah yang secara kebetulan berada di bawah kolonialisme Belanda. Nama Indonesia pun diberikan oleh orang asing, etnolog Inggris, G.R. Logan, pada 1850, konon dari Bahasa Yunani (Indo = India, Nesos = Kepulauan; jadi Kepulauan India). Apa sebenarnya konsepsi keindonesiaan itu? Apa sesungguhnya yang mengikat kita secara moral? Indonesia masih perlu terus-menerus melakukan kajian, diskusi, dialog tentang isu-isu berkaitan dengan pembangunan karakter dan pekerti kita sebagai bangsa. Rumusan yang lebih jelas dan tegas dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah Indonesia yang kuat, beradab, dan bermartabat, sebelum dilanda terpaan gelombang globalisasi.
Daftar Acuan
Cohen, A.Y.,  1970.  Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The Comparative  Study of Education systems.  (Joseph Fischer; editor). Pennsylvania: International Textbook Company.
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Pidarta, M.,  1997.  Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.  Jakarta : Rineka Cipta.
Taum, Yoseph Yapi, 2006. “Wawasan Kebangsaan dari Perspektif Budaya Flores.” Makalah Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan Kebangsaan Melalui Perspektif Budaya Lokal" yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 18 – 19 April 2006 di Wisma Kinasih Kaliurang.
Wakhinudin, S., 2006. “Pembentukan Peradaban Bangsa Melalui Pengajaran Multi-Etnik dalam Era Reformasi” dalam Portal Informasi Pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar