NAMA : IRWANSYAH
NIM : 12110200
KELAS : 12.2B.24
ISLAM DAN MASALAH SOSIAL
KEMASYARAKATAN
1.
Pengantar
Menurut estimasi Juli
2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang dan tersebar di 17.000
pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antara sedikit negara di dunia
yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil (lihat
Lampiran 1). Etnis besar di Indonesia
antara lain: Jawa, Sunda, Madura,
Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai negara yang multietnis, tidak
hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan
kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya. Indonesia juga merupakan
sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau agama yang cukup kuat.
Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan
Buddha. Dalam beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu Cu juga mulai kembali
berpengaruh di Indonesia. Indonesia
ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka
bunga berwarna-warni.Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola
dengan baik, konflik akan mudah pecah.Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt
dan Alfin Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran
etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa
pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara
ataupun kelompok-kelompok etnik lain.
Berjuta-juta nyawa telah
melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997)
merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar
masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan
peradaban “clash of civilisation.”
Sentimen ideologis yang selama ini dominan
dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak
ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan. Kutipan pernyataan para
futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa kebudayaan tidak jarang
membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan bahkan peperangan.
Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama perlu
senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan
baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang,
Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok,Tasikmalaya, Jakarta, Solo,
Surabaya, dll) seharusnya menggugah
bangsa ini untuk kembali
merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam
keberagaman sudah membudaya dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam
apakah pemahaman kita akan keragaman orientasi, referensi, dan
tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan? Apakah kesadaran etnik yang
bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan
peradaban bangsa kita? Masalah-masalah sosial apa sajakah yang mudah memunculkan
konflik dalam masyaraat multietnik? Adakah metode yang dapat digunakan untuk
mengatasi konflik berbasis etnik? Makalah ini bermaksud membahas masalah-masalah
tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretense untuk
membahas dan memberi jawaban dan solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan sekedar
untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
2. Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era
Reformasi
Indonesia
telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang
berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di Indonesia
sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep
pluralisme adalah buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan
Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar Dewantara, sehingga muncullah rumusan
seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak kebudayaan daerah, dan
seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan membuat pemerintah Orde
Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya daerah, sehingga
mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan. Selama tiga dekade kekuasaan rezim
Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan
ekonomi. Selama pemerintahan yang otoriter
dan militeristik ini, pembicaraan seputar
SARA (Suku, Agama, dan Ras) merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah
tersebut hampir tidak pernah diangkat atau didialogkan secara terbuka. Bangsa
ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas
penguasa dalam melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan
perbedaan.Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom
waktu.
Begitu
Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai EraReformasi.
Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA
itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut
revolusi identitas (identity
revolution).Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan)
yang selama rezim orde baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif
justru sudah mulai bangkit sebagai sebuah kekuatan basis.Kebijakan Era
Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta menyelesaikan masalah
keragaman ini. Satu hal yang unik di
Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu
suku. Kondisi masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah
menjadi lebih sukuis/etnosentris. Contoh
yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan
demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya
daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal.
Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh,
Kalimantan, Poso, dan Maluku.Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan masih berpotensi untuk muncul. Apakah
Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat
bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan
manusia?
3. Masalah-masalah Sosial Pemicu Konflik
3.1 Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
Ikatan
primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para
anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau
kepercayaan,sejarah dan asal-usul (Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini
merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan
intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan
yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi
perwujudan suatu kelompok etnik. Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan
tidak mudah untuk mengingkarinya,identitas dasar muncul dalam interaksi sosial
antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai
kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara
mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok
etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan
primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau
hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau
keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu.
Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya
yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, 1992:
3) yang
kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruksif.
Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat social
yang telah ada… suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan
ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran
di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa
tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu (Isaacs, 1993:45). Dalam
kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi
(Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat
dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti
batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka
penyesuaianpenyesuaian dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran identitas
dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan,
serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu
identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatan-ikatan
primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi
etnosentrisme yang berlebihan, sehingga
menjadi
sumber malapetaka. Di sisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan
primordial dapat menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan
mereka sendiri. Rasa kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik
tertentu dapat dijadikan dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan
bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan
surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau
bahkan secarik kertaspun. Mereka melakukannya berdasarkan rasa saling
percaya, karena mereka berasal dari kampong halaman yang sama, berbahasa atau
berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang sama, atau dari keturunan yang
sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong untuk saling mempercayaai,
minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan bahwa mereka memiliki
perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri. Kesadaran etnik yang
bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik merupakan suatu hal yang
pasti dialami setiap orang. Identitas dasar ini merupakan sumber terbentuknya
ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk
aktivitas hidup manusia. Indonesia telah memulai program desentralisasi yang
cukup radikal yang telah menimbulkan banyak permasalahan yang cukup rumit,
khususnya tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah, dan juga
kemungkinan melebarnya jurang ketimpangan jika kabupaten-kabupaten yang lebih
kaya maju sangat pesat, meninggalkan kabupaten-kabupaten lainnya.
3.2 Ketidakadilan Sosial
Di negara
yang sangat besar dan terdiri dari beragam etnis, selalu ada potensi bahaya
dimana konflik ketenagakerjaan, pertanahan, atau konflik atas sumber daya alam akan
muncul ke permukaan sebagai konflik antar etnis dan konflik antar agama. Ketika
pemerintahan Orde Baru runtuh, terbuka format politik baru yang memungkinkan pemunculan
kembali berbagai pertikaian yang terjadi di masa lampau. Munculnya berbagai
konflik ini akan menimbulkan dampak yang sangat buruk, yaitu menurunnya kepercayaan
kepada lembaga-lembaga politik yang akan membahayakan keberlanjutan masa depan
reformasi ekonomi Indonesia. Ketidakadilan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi
lapisan subur bagi tumbuhnya konflik. Terbuka kemungkinan berbagai kepentingan
dari luar sengaja memanaskan suhu. Namun,
ketidakadilan mendorong meletusnya konflik. Agama atau etnik menjadi seringkan
digunakan sebagai legitimasi pembenar. Mereka kini menjadi lebih sadar akan
hak-hak mereka, bukan saja hak di bidang politik tetapi juga hak di bidang
ekonomi, misalnya atas pangan, kesehatan, atau pekerjaan. Ketika masyarakat
menekankan identitas kedaerahan dan identitas etnisnya, mereka tidak sekedar
menuntut otonomi atau kebebasan politik yang lebih besar, tetapi mereka juga
menyuarakan bahwa sebagian dari hak sosial dan ekonomi dasar mereka belum
terpenuhi.
4. Solusi: Beberapa Isu Strategis Kebangsaan
Keberagaman
di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam
masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan
berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi
dan identitas baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
4.1 Membangun Hubungan Kekuatan
Dalam
masyarakat yang multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat
berakibat kontraproduktif. Usaha bisnis yang
maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama seperti menyimpan
bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial. Sosialisasi
kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu
suatu cara berhubungan antarindividu
atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk
hubungan tertentu. Dari hubungan ini
diharapkan mereka semakin saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul,
lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerjasama dan bersinergi.
Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari peradaban manusia. Proses
sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi,
dan simpati (Pidarta, 1997:147).
Interaksi sosial akan terjadi apabila
memenuhi
dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi
satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik
masyarakat dan elemen organik lainnya.
Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial
antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
Peradaban adalah jaringan kebudayaan.Biasanya setiap budaya memiliki wilayah (Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling
ketergantungan antaretnik. Saling ketergantungan ini dapat berupa program
(kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan kekuatan (power relationships)
semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan, kesenian dan
pendidikan.
Hubungan
kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi
antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah
lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang
dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah
suatu kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam
distribusi mobil dapat menciptakan
hubungan kekuatan yang kokoh.
4.2 Membangun Budaya Toleransi
Istilah
budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam
wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru,
toleransi menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan
secara represif dalam paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam
militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan, kedaerahan,
ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan SARA,
dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat negara. Karena itu, toleransi
lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari
proses kebudayaan masyarakat bangsa. Sejalan dengan berakhirnya masa despotisme
Orde Baru, masa-masa romantic ideologi Pancasila juga berakhir.
Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun
dihentikan dengan berbagai dampak, baik
positif maupun negative. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai
toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi
persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan tetapi,
perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat budaya
Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain of national
unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar
karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal. Beberapa pakar kebudayaan
(seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai toleransi bukanlah
sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari
adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia.
Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain; kemampuan untuk
ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang
lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan
orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan
menghargai adanya perbedaan.Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam
khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru saja menerbitkan sebuah buku saku
berjudul Budaya Berpikir Positif (2005).
Menurut Wacik, budaya berpikir positif, ---yakni cara berpikir manusia yang
senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya
telah hidup dalam kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini. "Semakin
sering kita berpikir positif, semakin banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat
primordialisme di antara kita akan menjadi semakin menipis. Sebaliknya, semakin
sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki musuh. Dengan
demikian, kehidupan bangsa kitapun akan menjadi semakin kerdil," demikian
pernyataan Jero Wacik dalam sebuah pertemuan di Jakarta (18/2). Sebelum
diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok
komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya.
Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam
ini tentulah tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk
itu tulisan ini hanya mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah
contoh kasus dari ribuan fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.
4.3 Pendidikan
Pendidikan
adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan
masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat
direkonstruksi. Rekonstruksi berarti
reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan,
terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan
reformasi nasionalisme (NKRI). Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan
ada di luar pendidikan (Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu
kebudayaan. Tolstoy beranggapan
nilainilai masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam
konflik atau ajang klaim-klaim yang saling bertentangan. Pendidikan yang
dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bias mempertahankan dan
meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi
pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan antarindividu atau
antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan
tertentu. Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina siswa agar bisa memiliki
kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari
berbagai latar belakang etnik. Proses
pembelajaran di kelas multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai
dengan harapan reformasi. Untuk ini,
dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana
menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006). Implementasi strategi pengajaran multietnik
di kelas hendaklah bertujuan pembentukan
peradaban bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran
multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah. Pengajaran bahasa daerah
dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan
bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format
tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan
fakta keragaman etnik di dalam kelas.
5. Penutup
Indonesia
sesungguhnya merupakan sebuah himpunan kerajaan-kerajaan, wilayah-wilayah yang
secara kebetulan berada di bawah kolonialisme Belanda. Nama Indonesia pun
diberikan oleh orang asing, etnolog Inggris, G.R. Logan, pada 1850, konon dari
Bahasa Yunani (Indo = India, Nesos = Kepulauan; jadi Kepulauan India). Apa sebenarnya
konsepsi keindonesiaan itu? Apa sesungguhnya yang mengikat kita secara moral? Indonesia
masih perlu terus-menerus melakukan kajian, diskusi, dialog tentang isu-isu
berkaitan dengan pembangunan karakter dan pekerti kita sebagai bangsa. Rumusan
yang lebih jelas dan tegas dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah
Indonesia yang kuat, beradab, dan bermartabat, sebelum dilanda terpaan
gelombang globalisasi.
Daftar Acuan
Cohen,
A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The
Social Sciences and The Comparative
Study of Education systems.
(Joseph Fischer; editor). Pennsylvania: International Textbook Company.
Geertz,
Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Huntington,
Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order. New
York: Simon and Schuster.
Issacs,
Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
Pidarta,
M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta.
Taum,
Yoseph Yapi, 2006. “Wawasan Kebangsaan dari Perspektif Budaya Flores.” Makalah
Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan Kebangsaan Melalui
Perspektif Budaya Lokal" yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, 18 – 19 April 2006 di Wisma Kinasih Kaliurang.
Wakhinudin,
S., 2006. “Pembentukan Peradaban Bangsa Melalui Pengajaran Multi-Etnik dalam
Era Reformasi” dalam Portal Informasi Pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar