Jumat, 23 Desember 2011

Membangun Generasi Rabbani


Tugas yang sangat menarik sekali menurut saya, karena baru kali ini ada tugas menulis lalu kemudian mempostingnya ke dalam suatu blog, yang Insya Allah bisa dibaca oleh blogger atau pengunjung internet lainnya, yang selalu haus akan ilmu baru. Dengan berbagai opsi pilihan tema yang sangat menarik, yang mampu kita kembangakan dengan referensi menjadi sebuah artikel yang sangat fantastis.
Dengan beberapa opsi tema yang ditawarkan, saya (Rodianingsih/11094957/II.5B.24), memilih tema ”Membangun Generasi Rabbani”, tidak tahu kenapa hati saya terpaut dengan tema tersebut, kelihatan sangat menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut. Apa sihhh Generasi Rabbani itu??? Bagaimana cara membangun generasi Rabbani tersebut???
Sesuatu di dunia ini memang tak ada yang abadi, selalu berganti dengan, termasuk generasi penerus. Pergantian generasi merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Apakah pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung pada kesungguhan dalam mempersiapkan generasi yang akan datang. Jika dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh insya Allah akan menghasilkan suatu generasi yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya jika asal-asalan akan menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk dari generasi pendahulunya. 
Jika kita perhatikan kondisi pada akhir-akhir ini, jelas terlihat adanya gejala demoralisasi di masyarakat. Kejahatan dan kekerasan hampir menjadi konsumsi kita setiap hari di surat kabar dan televisi. Perzinahan, aborsi dan kasus kecanduan narkoba menduduki peringkat tertinggi yang terjadi pada generasi muda. Selain itu arus informasi yang masuk hampir tanpa batas, seperti mode/gaya hidup orang barat, telah diadopsi tanpa filter (saringan) dan dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan kebanggaan. 
Fenomena ini hendaknya dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita. Apakah selama ini kita menjaga diri, keluarga dan masyarakat di sekitar kita agar tidak terkena dampak demoralisasi. Ataukah selama ini kita lupa dan melalaikannya. Padahal Allah dengan jelas memberikan perintah kepada kita dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”. (At-Tahrim: 6). 
Kita harus mewaspadai gejala ini, sebab jika tidak, akan menimbulkan preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Kita bisa membayangkan seperti apa jadinya generasi yang akan datang jika generasi sekarang seperti ini. Dan inilah yang Allah gambarkan sebagai generasi yang buruk, suatu generasi yang akan membawa pada kehancuran dan kesesatan. Allah berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (Maryam: 56). Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang buruk yaitu adla’ush-shalah (menyia-nyiakan shalat) dan ‘wattaba’usy-syahwat (memperturutkan hawa nafsu). 
Karakter pertama dari generasi yang buruk adalah menyia-nyiakan shalat. Shalat merupakan tiang agama dan amalan yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat yang memiliki fungsi langsung berkaitan dengan komunikasi seorang hamba dengan Rabb-nya.
Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Jika ia (shalatnya itu) baik, maka baik pula seluruh amalnya. Sebaliknya jika jelek maka jelek pulalah seluruh amalnya”. (HR. Muslim). 

Dari hadits ini menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan utama yang akan mempengaruhi perbuatan yang lain. Dan secara psikologis orang yang selalu melaksanakan shalat dengan baik akan mempunyai benteng pertahanan dari perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar, hal ini akibat adanya ikatan batin yang kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. (Al-Ankabut: 45). Maka jelaslah suatu kaum atau generasi yang menyia-nyiakan shalat tidak akan mempunyai benteng yang kuat dari perbuatan yang keji dan munkar, sehingga akan cenderung melakukan kemaksiatan. 

            Karakter kedua dari generasi yang buruk adalah memper-turutkan hawa nafsu. Ke mana hawa nafsunya condong, ke situlah ia berjalan. Generasi seperti ini tidak memperdulikan apakah sesuatu yang ia lakukan halal atau haram, dosa atau berpahala, yang terpenting bagi mereka tercapai semua yang diinginkannya. Dalam hal berpakaianpun yang penting mode atau sedang trend, tidak peduli apakah pakaian tersebut menutupi aurat atau malah mempertontonkan aurat. Generasi seperti ini hanya akan membawa kesesatan hidup di dunia dan di akhirat. (fana’udzu billah) 
Oleh karena itu, persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak suatu keharusan yang tidak bisa dibantah lagi. Sehingga perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik yang berkaitan dengan akidahnya, pendidikannya, muamalahnya, juga yang berkaitan dengan akhlaknya, sehingga pergantian generasi yang berlangsung menghasilkan generasi baru yang lebih baik daripada pendahulunya. 
Banyak teladan yang bisa kita ikuti dari para nabi dalam mempersiapkan generasi yang akan datang. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an diungkapkan bahwa para nabi pun mempersiapkan masalah peralihan generasi ini dengan sebaik-baiknya.
Kita bisa lihat pada surat Al-Baqarah ayat 132 dan 133, Allah berfirman: 
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam’. Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’
Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhan-mu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya’.” 

Akhlak dan akidah generasi pengganti para nabi itu sama. Ada persamaan ideologi dan idealisme antara generasi pendahulu dengan generasi berikutnya. Kata ‘wawashsha’ dalam ayat 132 di atas berarti berwasiat, mendidik atau mengajarkan. Ini menunjukkan bahwa upaya mempersiapkan generasi pengganti supaya lebih baik daripada generasi pendahulunya dilakukan melalui proses pendidikan dan pembinaan. Dan, nilai-nilai atau ideologi yang diwasiatkan atau diwariskan oleh generasi pendahulu itu tidak lain adalah nilai-nilai dan ideologi Islam. Kata ‘bi ha’ dalam ayat ini menunjukkan pengertian pada kalimat sebelum-nya (pada ayat 131), yaitu keislaman. 

Kemudian, dalam ayat 132 ini digunakan kata ‘isthafa’ yang mengandung arti ada kesadaran untuk memberikan alternatif terbaik. ‘isthafa’ ini bukan sekadar memberikan pilihan, atau disuruh memilih, tetapi mengajarkan, memilih, dan memberikan alternatif terbaik. ‘Innallaha isthafa lakum ad-diina’ (sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini buat kalian). Jika kata-kata ‘diin’ (agama) disertai alif-lam (ini disebut alif-lam ma’rifat), maka kalimat ini menunjukkan kekhususan terhadap agama yang dimaksud, yaitu Islam. Ini berbeda dengan kata ‘diin’ (tanpa alif-lam), yang berarti agama dalam arti luas.
Jadi, yang dimaksud ‘ad-diin’ dalam ucapan Ibrahim ini adalah jelas diinul Islam. Sehingga pada akhir ayat ini dinyatakan: “fa la tamutunna illa wa antum muslimuun” (maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam). Ini menunjukkan, bahwa bukan kematiannya yang perlu kita takuti, tetapi yang harus ditakuti adalah mati tidak dalam keadaan Islam. Jika mati pun dilarang kecuali dalam keadaan Islam, maka apalagi pada waktu hidup. Inilah yang berkaitan dengan islamiyyatul hayah atau Islamisasi kehidupan, baik ekonomi kita, pendidikan, politik, ataupun teknologi dan lain-lainnya. 

Ayat selanjutnya, Al-Baqarah ayat 133, mengungkapkan tentang bagaimana perhatian (kekhawatiran) Nabi Ya’qub terhadap anak-anaknya (generasi pengganti) dalam hal akidah dan ideologi mereka. Dalam ayat ini Allah menggambarkan, “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia ber-kata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggal-ku?” 
Inilah yang dikatakan pewarisan keyakinan, akidah dan ideologi serta prinsip hidup (manhajul hayah) yang harus kita persiapkan bagi generasi penerus kita. Dan jawaban mereka (generasi putra-putra Nabi Ya’qub) sesuai dengan akhlak dan akidah generasi pendahulunya. Seperti kelanjutan ayat tadi, “Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya’.” 


            Inilah contoh proses regenerasi yang dipersiapkan, yang tidak semata-mata berkaitan dengan masalah materi, tetapi juga berkaitan dengan manhajul hayahnya, prinsip hidupnya. 

           
Dari teladan di atas jelas terlihat bahwa dalam mempersiapkan generasi diawali dari keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan seorang anak menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi watak dan perkembangan psikologisnya. Keluarga yang penuh barakah, sakinah, dan diliputi oleh mawaddah wa rahmah (ketulusan cinta dan kasih sayang) merupakan lingkungan yang baik dalam membentuk generasi rabbani.
Dan, inilah sebetulnya tujuan utama dari pernikahan sebagaimana yang Allah firmankan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Ruum: 21). 
Generasi Rabbani adalah generasi yang baik, penuh dengan keridhaan dan kasih sayang Allah serta hidupnya selalu dihiasi dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam surat Al-Furqaan, Allah menyebutkan mereka sebagai ‘ibaddurrahmaan’, yakni hamba yang disayangi dan dikasihi Allah. Generasi Rabbani sebagai seorang muslim adalah tumpuan dan harapan yang akan membawa kemajuan Islam dan tegaknya kalimatullah di bumi ini.
Dalam surat Al-Maidah ayat 54 Allah berfirman: 

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mu’min dan bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.  Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”.
Dari ayat ini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik dari generasi rabbani yang pertama adalah ‘yuhibbu-hum wa yuhibbuunahu’, mereka mencintai Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, tidak mau terlibat dalam kebobrokan-kebobrokan mental generasinya, mempunyai hati yang bersih, dan Allah pun mencintai mereka. Karakter kedua yaitu adzillatin ‘alal mu’minin a’izzatin ‘alal kafirin, rendah hati terhadap orang mu’min dan keras terhadap orang kafir. Dan karakter yang ketiga adalah mereka bergerak dan berjuang di jalan Allah dan mereka tidak khawatir atau takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. Karena mereka menyadari bahwa itu merupakan suatu resiko dalam perjuangan. 

            Inilah generasi rabbani yang merupakan sosok muslim yang ideal. Mudah-mudahan kita bisa membimbing dan mendidik keturunan dan keluarga kita agar menjadi generasi-generasi rabbani yang akan meneruskan perjuangan dan tegaknya diinul Islam. Sebab jika tidak maka tunggulah kehancurannya.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. 
Marilah kita sebagai penerus bangsa dan agama tercinta, terus berusaha menjadi Generasi Rabbani, Para ulama menyebutnya sebegai generasi yang memiliki ciri-ciri istimewa sebagai berikut, yaitu 1) ‘Aalim, yaitu orang yang mendalam ilmunya; 2) Faqieh, yaitu orang yang benar dan mendalam pemahaman agamanya; 3) Haliem, yaitu orang yang sabar dan santun; 4) Hakiem, yaitu orang yang memiliki sikap bijaksana; 5)‘Aabid, yaitu orang yang ahli ibadah, dan 6)Muttaqie, yaitu orang yang ahli taqwa. Selalu percaya akan ketentuan dan kepantasan dari apa yang diberikan Allah, dan terus berusaha memperkaya ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar