Alloh SWT Berfirman dalam Al-Quran
“Hai
orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)
Ayat
ini merupakan ayat kedua terakhir dari surah yang unik dan istimewa,
surah al-Hajj. Dikatakan surah yang unik karena sebagian ulama tafsir
menggolongkan surah ini ke dalam kategori surah Makkiyah, namun
sebagian yang lain justru sebaliknya menggolongkannya ke dalam kategori
surah Madaniyah. Surah ini juga unik karena di dalamnya ada dua ayat
sajdah, yaitu ayat 18 dan ayat ini seperti yang di pahami dari sebuah
riwayat dari Uqbah bin Amir:
”Keutamaan
surah al-Hajj karena terdapat dua ayat sajdah padanya. Barangsiapa yang
tidak bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca surah ini.” (HR. at-Tarmidzi dan Abu Dawud)
Ayat
ini menggambarkan secara ringkas manhaj Allah SWT untuk manusia dan
beban taklif bagi mereka agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan.
Ia di awali dengan perintah untuk rukuk dan sujud yang merupakan
gambaran gerakan shalat yang tampak dan jelas, dilanjutkan dengan
perintah untuk beribadah secara umum yang meliputi segala gerakan, amal
dan pikiran yang di tujukan hanya kepada Allah SWT sehingga segala
aktivitas manusia bisa beralih menjadi ibadah bila hati ditujukan hanya
kepada Allah SWT bahkan Kenikmatan-kenikmatan dari kelezatan hidup dunia
yang dirasakannya dapat bernilai ibadah yang di tulis sebagai pahala
amal baik .
Ayat
ini di tutup dengan perintah berbuat baik secara umum dalam hubungan
horizontal dengan manusia setelah perintah untuk membangun hubungan
vertikal dengan Allah SWT, dalam shalat dan ibadah lainnya. Oleh sebab
itu, perintah ibadah dimaksudkan agar umat Islam selalu terhubung
dengan Allah SWT sehingga kehidupan berdiri di atas fondasi yang kukuh
dan jalur yang dapat membawa kepada-Nya. Sedangkan perintah untuk
melakukan kebaikan, dapat membangkitkan kehidupan yang istiqamah dan
kehidupan masyarakat yang penuh dengan suasana kasih sayang.
Perintah
ini dipertegas kembali di akhir surah al-Hajj, bahwa umat Islam akan
mampu mempertahankan eksistensinya sebagai umat pilihan dan sebagai
saksi atas umat yang lain manakala mampu membina hubungan baik dengan
Allah SWT dan membina hubungan baik sesama manusia:
”Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (AL-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,
maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada
tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan
Sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj:78)
Pada
ayat di atas, Allah SWT memberi perintah kepada orang beriman agar
mampu membangun kesalehan personal dan sosial secara bersamaan agar
senantiasa dalam kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi
dari pengabdian seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan”
merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara
redaksional dalam urutan perintah ayat di atas, ternyata Allah SWT
mendahulukan kesalehan personal dari kesalehan sosial. Ini berarti bahwa
untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan
personal. Atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh
juga secara sosial. Bahkan seluruh perintah beribadah kepada Allah SWT
dimaksudkan agar lahir darinya kesalehan sosial, seperti shalat
misalnya, bagaimana ia bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut : 45)
Kisah
yang diabadikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya bagaimana
seorang wanita yang saleh secara personal yang diwujudkan dengan ibadah
shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainnya namun ternyata Rasulullah SAW
menyatakan bahwa ia dalam neraka. Karena ternyata kesalehan itu tidak
membawanya menuju kesalehan sosial, bahkan ia cenderung tidak mampu
menjaga lisannya dari tidak melukai hati orang lain.
Dalam
tataran tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, terdapat beberapa hubungan
dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan
sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai
predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu sholeh secara
individu dan sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak,
“Sesungguhnya
mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu
memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 16-19)
Ibnu
Asyur mengomentari ayat ini dengan menjelaskan bahwa dua bentuk amal
inilah yang sangat berat untuk dilakukan karena: pertama, bangun malam
merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat
seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk
membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan
harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya
memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah
SWT menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk
mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Nilai
lain yang terkait dengan dua kesalehan ini, adalah sebab utama yang
paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam neraka karena tidak mampu
membentengi diri dengan dua kesalehan tersebut, seperti pernyataan
jujur penghuni neraka yang diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, ’Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami
tidak pula memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang
batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir : 42-45)
Resep
agar tidak bersifat keluh kesah lagi kikir juga sangat terkait dengan
kemampuan seseorang membangun dalam dirinya dua kesalehan tersebut
secara simultan. Allah SWT memberi jaminan,
“Kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya, dan orang-orang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi
orang miskin yang meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa (yang
tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij : 22-25)
Berapa
banyak dari umat ini yang hanya mementingkan saleh secara sosial tapi
lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak juga yang
saleh secara personal namun ketika berhadapan dengan sosial, ia larut
dan tidak mampu membangun kesalehan di tengah-tengah mereka. Sungguh
umat ini sangat membutuhkan kehadiran komunitas yang saleh secara
personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. Saleh
secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik dan memberi
kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. (Allahu a’lam)
Sumber : Dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar