Semua
masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan adalah generasi
rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu
sendiri. Karena semua sadar, bahwa label ‘rabbani’ menggambarkan generasi emas
umat islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini?…
Pengertian
istilah “Rabbani”
Dalam
banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk kepemudaan, tidak lepas
dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan masyarakat, mereka yang
mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan ‘mentah-mentah’, tanpa
peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’ semacam ini tidak
selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak menimbulkan kesalah-pahaman
terhadap inti informasi yang disampaikan. Berikut adalah keterangan para ulama
tentang istilah ‘rabbani’, yang kami sarikan dari kitab Zaadul Masir fi Ilmi
at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi (1/298):
Ditinjau
dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil
dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu
Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii),
untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’
adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah
harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu
orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun.
Terdapat
beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi
istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu,
beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan
santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas
dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair
mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya.
Qatadah
dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah
(ilmu).
Imam
Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak
mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para
ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar.
Antara
Ilmu dan Seorang ‘Rabbani’
Dari
semua keterangan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama
yang menjelaskan tentang pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label
‘rabbani’ hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat
berikut: Pertama, berilmu dan memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan
sunnah. Kedua, mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya. Ketiga,
mengajarkannya kepada masyarakat. Sebagian ulama menambahkan sifat keempat,
yaitu mengikuti pemahaman para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena
sahabat merupakan standar kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Kurang
dari salah satu diantara sifat di atas, tidak dapat disebut seorang rabbani.
Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ketika ditanya tentang
makna ‘rabbani’, beliau mengatakan: Apabila seseorang itu berilmu,
mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang
rabbani. Namun jika kurang salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak
menyebutnya sebagai seorang rabbani. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124).
Antara
Ilmu dan Ibadah
Inti
jawaban, mengapa seseorang itu layak dinamakan rabbani adalah karena dia telah
melakukan amalan yang sangat mendekatkan dirinya kepada Ar-Rabb (Allah),
sebagaimana pengertian ‘rabbani’ dari tinjauan bahasa. Karena itu, dari
keterangan para ulama di atas, akan muncul satu pertanyaan, apa kaitan antara
pengertian ulama tentang istilah ‘rabbani’ dengan makna kata ini secara bahasa.
Atau dengan kata lain, apa kaitan antara ilmu, yang menjadi syarat mutlak
seorang rabbani dengan ibadah kepada Allah?
Dijelaskan
oleh Ibnul Anbari, keterkaitannya karena ilmu merupakan bentuk ibadah kepada
Allah ta’ala. Disamping itu, seseorang hanya akan bisa melakukan ibadah
kepada Allah, jika dia memahami tata cara ibadah yang sesuai dengan apa yang
Allah kehendaki. Sehingga kata kunci dalam masalah ini adalah ‘ilmu’ (Zaadul
Masir, 1/298).
Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zuhri – salah seorang ulama tabi’in –:
Tidak ada satu bentuk peribadatan kepada Allah yang lebih mulia
dibandingkan ilmu. (Hilyah al-Auliya, 2/61). Demikian juga dikatakan
oleh Imam Ahmad: Mencari ilmu merupakan amalan yang paling mulia, bagi siapa
saja yang niatnya benar. (Syarh Muntaha al-Iradat, 2/26). Hal yang
semisal juga dikatakan Abdullah bin Mubarak, Saya tidak mengetahui ada
sesuatu yang lebih mulia setelah nubuwah (kenabian) melebihi kegiatan
menyebarkan ilmu. (Mausu’ah ad-Din an-Nashihah, 1/301)
Menuju
Generasi Rabbani
Mendidik
masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang.
Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk berdakwah dan menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar. Hanya saja tanggung jawab ini bertingkat-tingkat,
sesuai dengan tingkatan ilmu dan ketaqwaan seseorang.
Untuk
bisa mewujudkan genarasi rabbani seutuhnya, agenda besar ini harus dimulai dari
lingkungan belajar yang lingkupnya paling kecil, yaitu keluarga. Karena itu,
Allah perintahkan agar kepala keluarga dengan serius memperhatikan kondisi
keluarganya. Allah berfirman (yang artinya): “Wahai orang-orang yang
beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka…” (QS.
At-Tahrim: 6). Allah gandengkan perintah ini dengan gelar iman, menunjukkan
bahwa perintah tersebut merupakan tuntutan dan konsekwensi iman seseorang.
Dalam
ayat di atas ada dua perintah. Perintah pertama, lindungi diri kalian, yaitu
dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Kedua, lindungi keluarga
kalian, dengan memerintahkan untuk mengamalkan kewajiban dan melarang keluarga
untuk melanggar larangan. Hal ini sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib radliallahu
‘anhu, ketika menafsirkan ayat di atas: “Ajari mereka dan didik mereka”
(Ibn Katsir, 8/167)
Untuk
mewujudkan tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga:
1.
Ajari mereka untuk bertauhid
Allah
berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub ketika
hendak meninggal dunia (yang artinya): Adakah kamu hadir ketika Ya’qub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa
dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah: 133)
Ayat
ini mengajarkan kepada kita satu prinsip penting tentang penanaman aqidah
kepada keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cerita perjalanan hidup
Nabi Ya’qub sangat panjang dan merupakan cerminan akhlak terpuji. Namun
penggalan cerita tentang beliau yang Allah pilih dalam al-Qur’an adalah kisah
wasiatnya kepada putra-putra. Demikian juga yang diajarkan luqmanul hakim
kepada anaknya (lihat surat Luqman 13)
2.
Ajari keluarga untuk melaksanakan shalat
Dari
Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7
tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10
tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
Pada
asalnya hukum shalat tidak wajib bagi anak-anak. Akan tetapi, ketika ada
seorang anak meninggalkan shalat, sementara orang tuanya tidak
memerintahkannya atau memaksanya maka si anak tidak berdosa, namun orang tuanya
telah melanggar kewajiban. Karena dirinya wajib untuk memerintahkan anaknya agar
melaksanakan shalat. (lih. Penjelasan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari,
9/348). Dan faedah lain, bahwa perintah tersebut untuk membiasakan anak
mengerjakan sholat
3.
Memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat
Tujuan
memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak berani melawan orang tua
atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Gantunglah cemeti di tempat yang bisa
dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik mereka. (HR. Thabrani
dalam al-Ausath 10671 dan dihasankan oleh al-Albani)
4.
Pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan
Ini
akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa antara laki-laki dan
wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan ini dimulai ketika mereka menginjak
usia 10 tahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Pisahkan
tempat tidur diantara mereka (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
5.
Memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga
Banyak
sekali do’a yang Allah ajarkan dalam al-Qur’an, yang isinya memohon kebaikan
bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
banyak mengajarkan hal yang sama dalam hadisnya. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.
Do’a Nabi Ibrahim untuk keturunannya
Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam termasuk nabi yang do’anya banyak Allah sebutkan
dalam al-Qur’an. Dan banyak do’a beliau berisi kebaikan untuk dirinya dan
keturunanya. Ini menunjukkan bahwa do’a Nabi Ibrahim adalah do’a yang istimewa
di sisi Allah. Diantara do’a beliau: “Jauhkanlah aku dan anak-anakku dari
menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35). Beliau juga berdo’a: “Ya Allah,
jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan shalat. Ya Allah,
kabulkanlah do’a.” (QS. Ibrahim: 40)
Lain
dari itu adalah do’a Nabi Nuh ‘alaihis salam. Beliau memohon kepada
Allah agar setiap orang mukmin yang masuk rumahnya diampuni oleh Allah. Ini
akan memberi kesempatan agar keluarga kita banyak mendapat ampunan dari Allah.
Nabi Nuh berdo’a: “Yaa Allah, ampunilah diriku, kedua orang tuaku. Ampunilah
setiap orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman, dan kepada seluruh orang
mukmin laki-laki maupun wanita.” (QS. Nuh: 28)
Allah
juga mengajarkan, diantara doa orang mukmin adalah, “Ya Rabb kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS.
Al-Furqan: 74). Nurul Khoiriyah/11094962/11.5B.24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar