Selasa, 27 Desember 2011

Mendidik Generasi Rabbani

Semua masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan adalah generasi rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu sendiri. Karena semua sadar, bahwa label ‘rabbani’ menggambarkan generasi emas umat islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini?…
Pengertian istilah “Rabbani”
Dalam banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk kepemudaan, tidak lepas dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan masyarakat, mereka yang mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan ‘mentah-mentah’, tanpa peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’ semacam ini tidak selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak menimbulkan kesalah-pahaman terhadap inti informasi yang disampaikan. Berikut adalah keterangan para ulama tentang istilah ‘rabbani’, yang kami sarikan dari kitab Zaadul Masir fi Ilmi at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi (1/298):
Ditinjau dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun.
Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya.
Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu).
Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Antara Ilmu dan Seorang ‘Rabbani’
Dari semua keterangan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama yang menjelaskan tentang pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label ‘rabbani’ hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat berikut: Pertama, berilmu dan memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah. Kedua, mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya. Ketiga, mengajarkannya kepada masyarakat. Sebagian ulama menambahkan sifat keempat, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena sahabat merupakan standar kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kurang dari salah satu diantara sifat di atas, tidak dapat disebut seorang rabbani. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ketika ditanya tentang makna ‘rabbani’, beliau mengatakan: Apabila seseorang itu berilmu, mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang rabbani. Namun jika kurang salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak menyebutnya sebagai seorang rabbani. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124).
Antara Ilmu dan Ibadah
Inti jawaban, mengapa seseorang itu layak dinamakan rabbani adalah karena dia telah melakukan amalan yang sangat mendekatkan dirinya kepada Ar-Rabb (Allah), sebagaimana pengertian ‘rabbani’ dari tinjauan bahasa. Karena itu, dari keterangan para ulama di atas, akan muncul satu pertanyaan, apa kaitan antara pengertian ulama tentang istilah ‘rabbani’ dengan makna kata ini secara bahasa. Atau dengan kata lain, apa kaitan antara ilmu, yang menjadi syarat mutlak seorang rabbani dengan ibadah kepada Allah?
Dijelaskan oleh Ibnul Anbari, keterkaitannya karena ilmu merupakan bentuk ibadah kepada Allah ta’ala. Disamping itu, seseorang hanya akan bisa melakukan ibadah kepada Allah, jika dia memahami tata cara ibadah yang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sehingga kata kunci dalam masalah ini adalah ‘ilmu’ (Zaadul Masir, 1/298).
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zuhri – salah seorang ulama tabi’in –:  Tidak ada satu bentuk peribadatan kepada Allah yang lebih mulia dibandingkan ilmu. (Hilyah al-Auliya, 2/61). Demikian juga dikatakan oleh Imam Ahmad: Mencari ilmu merupakan amalan yang paling mulia, bagi siapa saja yang niatnya benar. (Syarh Muntaha al-Iradat, 2/26). Hal yang semisal juga dikatakan Abdullah bin Mubarak, Saya tidak mengetahui ada sesuatu yang lebih mulia setelah nubuwah (kenabian) melebihi kegiatan menyebarkan ilmu. (Mausu’ah ad-Din an-Nashihah, 1/301)
Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hanya saja tanggung jawab ini bertingkat-tingkat, sesuai dengan tingkatan ilmu dan ketaqwaan seseorang.
Untuk bisa mewujudkan genarasi rabbani seutuhnya, agenda besar ini harus dimulai dari lingkungan belajar yang lingkupnya paling kecil, yaitu keluarga. Karena itu, Allah perintahkan agar kepala keluarga dengan serius memperhatikan kondisi keluarganya. Allah berfirman (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Allah gandengkan perintah ini dengan gelar iman, menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan tuntutan dan konsekwensi iman seseorang.
Dalam ayat di atas ada dua perintah. Perintah pertama, lindungi diri kalian, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Kedua, lindungi keluarga kalian, dengan memerintahkan untuk mengamalkan kewajiban dan melarang keluarga untuk melanggar larangan. Hal ini sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat di atas: “Ajari mereka dan didik mereka” (Ibn Katsir, 8/167)
Untuk mewujudkan tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga:
1. Ajari mereka untuk bertauhid
Allah berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub ketika hendak meninggal dunia (yang artinya): Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah: 133)
Ayat ini mengajarkan kepada kita satu prinsip penting tentang penanaman aqidah kepada keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cerita perjalanan hidup Nabi Ya’qub sangat panjang dan merupakan cerminan akhlak terpuji. Namun penggalan cerita tentang beliau yang Allah pilih dalam al-Qur’an adalah kisah wasiatnya kepada putra-putra. Demikian juga yang diajarkan luqmanul hakim kepada anaknya (lihat surat Luqman 13)
2. Ajari keluarga untuk melaksanakan shalat
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10 tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
Pada asalnya hukum shalat tidak wajib bagi anak-anak. Akan tetapi, ketika ada seorang anak  meninggalkan shalat, sementara orang tuanya tidak memerintahkannya atau memaksanya maka si anak tidak berdosa, namun orang tuanya telah melanggar kewajiban. Karena dirinya wajib untuk memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat. (lih. Penjelasan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, 9/348). Dan faedah lain, bahwa perintah tersebut untuk membiasakan anak mengerjakan sholat
3. Memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat
Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Gantunglah cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik mereka. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 10671 dan dihasankan oleh al-Albani)
4. Pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan
Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan ini dimulai ketika mereka menginjak usia 10 tahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Pisahkan tempat tidur diantara mereka (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
5. Memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga
Banyak sekali do’a yang Allah ajarkan dalam al-Qur’an, yang isinya memohon kebaikan bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengajarkan hal yang sama dalam hadisnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Do’a Nabi Ibrahim untuk keturunannya
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam termasuk nabi yang do’anya banyak Allah sebutkan dalam al-Qur’an. Dan banyak do’a beliau berisi kebaikan untuk dirinya dan keturunanya. Ini menunjukkan bahwa do’a Nabi Ibrahim adalah do’a yang istimewa di sisi Allah. Diantara do’a beliau: “Jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35). Beliau juga berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan shalat. Ya Allah, kabulkanlah do’a.” (QS. Ibrahim: 40)
Lain dari itu adalah do’a Nabi Nuh ‘alaihis salam. Beliau memohon kepada Allah agar setiap orang mukmin yang masuk rumahnya diampuni oleh Allah. Ini akan memberi kesempatan agar keluarga kita banyak mendapat ampunan dari Allah. Nabi Nuh berdo’a: “Yaa Allah, ampunilah diriku, kedua orang tuaku. Ampunilah setiap orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman, dan kepada seluruh orang mukmin laki-laki maupun wanita.” (QS. Nuh: 28)
Allah juga mengajarkan, diantara doa orang mukmin adalah, “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74). Nurul Khoiriyah/11094962/11.5B.24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar