Perbedaan Fikih dalam
Islam
A.
Fikih
Semua individu Muslim mengenal apa itu fikih. Fikih adalah tata cara yang menyangkut aspek-aspek lahir dari peribadatan Islam. Fikih merupakan penafsiran atau pemahaman para ulama tentang syari’at Islam. Lain kata, tafsir, kajian, penjelasan, kesimpulan dan fatwa para ulama tentang tatacara pelaksanaan syari’at Islam adalah fikih (tafaqquh fiddin). Sebagai kajian hukum, atau aturan dan tatacara, fih tidak terlepas dari perbedaan pendapat karena pelaksanaan hukum dan aturan sangat bergantung pada konteks yaitu situasi dan kondisi saat penerapan hukum dijalankan. Karenanya, perdedaan telah menjadi ciri khas dari fiqh itu sendiri. Maka, di kalangan dunia Islam Sunni mengenal empat perbedaan madzhab fiqh: Malikiyah (Anas bin Malik), Hambaliyah (Ahmad bin Hanbal), Syafi’iyah (Idris Asy-Syafi’i) dan Hanafiyah (Abu Hasan Hanafi). Syi’ah memiliki madzhab fiqhnya sendiri yang mengacu pada Imam Ja’far Ash-Shadiq.
Misalnya, fikih mendefinisikan
ibadah sunnah sebagai ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala, bila tidak
dikerjakan tidak berdosa. Dalam kesadaran taubikh, definisi ini tidak patut
disandarkan pada Nabi. Segala ibadah sunnah yang dilakukan Nabi adalah perilaku
Nabi. Perilaku Nabi adalah contoh tauladan yang mulia. Sebagai tauladan yang
baik (uswah hasanah) maka segala sunnah Nabi sepatutnya diikuti dan
diamalkan semaksimal mungkin oleh pengikutnya. Dalam kesadaran ini, tidak perlu
memikirkan wajib atau sunnahnya amal-amal Nabi. Mencontoh perilaku dan
kebiasaan Nabi adalah kepatutan setiap Muslim. Begitulah seharusnya
tatakrama/etika mengikuti pemimpin yang dicintai apalagi Nabi sebagai teladan
umat yang keseluruhan akhlaknya adalah Al-Qur’an. Jadi, mengatakan “tidak
berdosa” atau “tidak apa-apa” dalam mendefinisikan ibadah sunnah adalah sebuah
kesadaran yang rendah dalam beragama, tidak patut dalam konteks kecintaan dan
kesetiaan. Di taubikh, mencontoh perilaku Nabi tidak menghitung apa yang akan
kita dapatkan, melainkan ketaatan semata-mata (sami’na wa atha’na). Menghitung
pahala dan melihat sunat atau wajib adalah ibadah hitung-hitungan. Sementara
kecintaan Allah dan Rasul-Nya pada umatnya tidak hitung-hitungan.
B.
Arti
Fikih Secara Etimologi
Dalam Al Qomus Al Muhith: Al
Fiqhu,pengetahuan dan pemahaman tentang suatu perkara. Dalam Al Misbah Al
Munir:Al fiqhu, pemahaman terhadap sesuatu. Berkata Ibnu Faris. "Segala
pengetahuan tentang sesuatu disebut Fiqih.
Fikih adalah pemahaman untuk sesuatu yang tampak ataupun tersembunyi, baik perkataan maupun perbuatan. Al Quran sering menggunakan kata ini, diantaranya:
" Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu " (Hud:91)
" Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Al Isro':44)
" Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran kami silih berganti agar mereka memahami(nya)". (Al An'am:65)
Fikih adalah pemahaman untuk sesuatu yang tampak ataupun tersembunyi, baik perkataan maupun perbuatan. Al Quran sering menggunakan kata ini, diantaranya:
" Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu " (Hud:91)
" Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Al Isro':44)
" Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran kami silih berganti agar mereka memahami(nya)". (Al An'am:65)
C. Makna Fiqh di Masa Permulaan Islam
Di masa permulaan islam, istilah fikih lebih dominan digunakan untuk pemahaman tentang hukum-hukum (ahkam) agama secara menyeluruh. Dengan kata lain, suatu kepahaman terhadap hokum-hukum yang telah Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya, apakah itu berhubungan dengan keimanan dan keyakinan dengan segala hal yang ada kaitan dengannya, atau ahkam yang berhubungan dengan furudl(pembagian waris), hudud(batasan-batasan syara'), perintah-perintah, larangan-larangan, takhyir (pilihan), dan wadl'I. Maka, fikih di masa ini mencakup kedua jenis ini dan tidak dikhususkan untuk salah satu dari keduanya. Dengan demikian fikih menjadi sinonim dari kata syari'ah, syir'ah, syara', dan din.
Penggunaan istilah fikih dengan makna yang sangat luas ini telah berlangsung dalam rentang waktu yang tidak cukup lama. Sebagai bukti, dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Abi Hanifah mendefinisikan fikih dengan 'pengetahuan tentang apa hak-hak dan kewajiban-kewajiban diri', dan tiada lain pengetahuan yang dimaksud adalah hukum-hukum Allah dengan berbagai jenisnya. Sebagaimana beliau juga menamakan buku tentang akidah yang ditulisnya dengan "Al Fiqh Al Akbar"
Kemudian penggunaan kata fikih ini mengalami perubahan dan penyempitan makna, lalu muncullah definisi para ulama ushul fikih dan para fuqoha.
Fiqih ikhtilaf adalah cabang ilmu fiqih yang
mempelajari tentang perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam masalah2
furu’ (cabang syariat), sebab2nya, serta adab2 dalam berbeda pendapat.
D. Jenis-jenis Ikhtilaf dalam Fiqih
Perbedaan pendapat ada 2 macam, yaitu perbedaan dalam masalah pokok2 syariat (ushul) dan perbedaan pendapat dalam masalah cabang syariat (furu’).
Perbedaan pendapat yang pertama adalah dalam masalah pokok syariat (aqidah dan ushul ibadah) adalah terlarang dan disepakati keharamannya oleh para ulama, misalnya jika ada aliran yang menyatakan bahwa ada nabi yang ke 26 bernama Mirza Ghulam Ahmad dari Lahore (kelompok Ahmadiyyah), maka ia telah keluar dari Islam dan harus segera bertaubat, demikian pula jika ada yang menyatakan bahwa hukum waris tidak adil untuk zaman modern, jilbab tidak wajib bagi muslimah, dsb.
Perbedaan kedua yang dibolehkan adalah perbedaan dalam masalah furu’ sepanjang tetap berpegangan kepada dalil yang shahih. Contohnya seperti pada bab thaharah (bersuci) : batalkah wudhu’ bagi orang yang bersentuhan dengan istri?; pada bab shalat : wajibkah membaca surah al-fatihah jika kita menjadi makmum?; pada bab puasa : apakah kita memulai puasa dengan hisab atau dengan ru’yah?; dalam masalah politik : apakah boleh menggunakan sistem multipartai atau bersatu dalam 1 partai atau tdk menggunakan partai sama sekali? dsb.
D. Jenis-jenis Ikhtilaf dalam Fiqih
Perbedaan pendapat ada 2 macam, yaitu perbedaan dalam masalah pokok2 syariat (ushul) dan perbedaan pendapat dalam masalah cabang syariat (furu’).
Perbedaan pendapat yang pertama adalah dalam masalah pokok syariat (aqidah dan ushul ibadah) adalah terlarang dan disepakati keharamannya oleh para ulama, misalnya jika ada aliran yang menyatakan bahwa ada nabi yang ke 26 bernama Mirza Ghulam Ahmad dari Lahore (kelompok Ahmadiyyah), maka ia telah keluar dari Islam dan harus segera bertaubat, demikian pula jika ada yang menyatakan bahwa hukum waris tidak adil untuk zaman modern, jilbab tidak wajib bagi muslimah, dsb.
Perbedaan kedua yang dibolehkan adalah perbedaan dalam masalah furu’ sepanjang tetap berpegangan kepada dalil yang shahih. Contohnya seperti pada bab thaharah (bersuci) : batalkah wudhu’ bagi orang yang bersentuhan dengan istri?; pada bab shalat : wajibkah membaca surah al-fatihah jika kita menjadi makmum?; pada bab puasa : apakah kita memulai puasa dengan hisab atau dengan ru’yah?; dalam masalah politik : apakah boleh menggunakan sistem multipartai atau bersatu dalam 1 partai atau tdk menggunakan partai sama sekali? dsb.
Lalu
bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat Fikih dalam Islam? Jawabannya
begini. Perbedaan pendapat itu ada dua macam : perbedaan pendapat yang tidak
diperbolehkan dan perbedaan pendapat yang diperbolehkan. Perbedaan pendapat
yang tidak diperbolehkan adalah perbedaan pendapat dalam hal-hal prinsip yang
bersifat tunggal. Adapun perbedaan pendapat yang diperbolehkan adalah perbedaan
pendapat dalam hal-hal yang bersifat cabang, yang memang dalam tabiatnya
memungkinkan adanya lebih dari satu penafsiran atau pemahaman.
Menyikapi perbedaan pendapat yang diperbolehkan, kita harus
memperhatikan beberapa hal :
1. Kita harus saling menghormati dan bertoleransi. Jangan
sampai perbedaan pendapat diantara kita merusak ukhuwah diantara kita, sehingga
musuh-musuh Allah akan melihat kita lemah dan tidak lagi takut kepada kita (QS
Al-Anfal : 46).
2. Hendaknya kita mengusahakan kerjasama dalam hal-hal yang
kita sepakati dan kita saling bertoleransi dalam hal-hal yang kita perbedakan.
3. Kita hendaknya bisa melakukan tukar
pikiran dengan cara yang baik untuk bisa mencapai kesepakatan jika memungkinkan
atau menemukan pendapat yang lebih kuat. Dalam tukar pikiran, hendaknya
masing-masing pihak siap untuk menerima pendapat yang lebih kuat.
4. Hendaknya seseorang tidak bersikap fanatik dan taklid buta
terhadap suatu pendapat tanpa mendasarkannya pada akal pikiran yang sehat.
Vika Khaerun Nisa /11094944/11.5b.24
(vmarettakhaerunnisa@yahoo.co.id)
Sumber Menara Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar