Allah subhanahuwa ta’ala dan Rasulullah salallaahu alayhi wasallam
dengan jelas mengharamkan riba-yakni termasuk menetapkan dan mengambil
bunga:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya. al-Quran 2 : 275 – 278
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang
disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul,
supaya kamu diberi rahmat.”al-Quran 3 : 130 – 13
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Nafi’bahwa beliau
mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata,“Jika seseorang meminjamkan
sesuatu, biarkan kondisi satu-satunya yang dilunasi.” Al-Muwatta Imam
Malik : 31.44.94
Malik meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn
Mas’ud pernah berkata, “Jika seseorang membuat pinjaman, mereka tak
boleh menetapkan perjanjian lebih dari itu. Meski hanya segenggam
rumput, itu adalah riba.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.95
Abdullah ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah salallaahu alayhi
wasallam melaknat mereka yang menerima, yang membayar, yang menyaksikan,
dan yang mencatat riba. Sunah Imam Abu Dawud: 16.1249.
Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu
Bakar ibnu al Arabi, dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi
sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan
nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
Kelebihan ini mengacu pada dua hal:
1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd
(al-hafid) seorang fakih, memaparkan beberapa sumber riba ke dalam
delapan jenis transaksi:
1. Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya
kelonggaran (dalam pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah
pengembaliannya)
2. Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
3. Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
4. Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
5. Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
6. Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
7. penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
8. atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
Perlu diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan
menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab
utama. Dua aspek ini telah mendorong para ulama mendefinisikan dua jenis
riba. Ibnu Rusyd mengatakan : ‘Para hakim secara ijma mengatakan
tentang riba dalam buyu’ (perdagangan) dalam dua jenis yaitu penundaan
(nasi’ah) dan kelebihan yang ditentukan (tafadul)
Jadi, ada dua jenis riba:
1. Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan
kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat
dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan, kendaraan,
binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis
terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti
makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang.
Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya
sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl,
karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada
utang-piutang.
Transaksi utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi
tidak ada unsur penambahan. Seseorang meminjamkan anda uang Rp 500.000,
dan peminjam melunasinya, setelah tertunda beberapa waktu lamanya, dalam
jumlah yang sama, IDR 500.000. Penundaan waktu dalam utang-piutang ini
dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya tidak
dibenarkan dan hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah
riba al-fadl.
Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu.
Riba al-fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman, riba
al-fadl merupakan bunga yang harus dibayar. Namun pada umumnya riba ini
mewakili peningkatan tambahan terhadap nilai tanding yang diminta oleh
satu pihak.
2. Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam
waktu (penundaan) yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang
berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda
nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas,
perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
‘Ayn (nyata) merupakan barang dagangan yang nyata, sering disebut
sebagai tunai. Dayn (tidak nyata) merupakan janji untuk membayar atau
hutang, atau apa saja yang pembayarannya atau pelunasannya ditunda.
Menukar (safar) dayn untuk ‘ayn dari jenis yang sama disebut riba
an-nasiah. Menukar dayn untuk dayn juga haram. Dalam penukaran, yang
boleh dipertukarkan hanya ‘ayn dengan ‘ayn.
Riba an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam
pertukaran (safar) jenis benda yang serupa. Tetapi pengharaman ini
diperluas sampai perdagangan umum jika dayn (sesuatu yang yang tidak
nyata) mewakili uang yang melampaui fungsi sebenarnya dan menggantikan
‘ayn (sesuatu yang nyata) sebagai alat pembayaran umum. Memahami riba an-nasiah amat sangat penting agar mampu mengerti kedudukan kita berkenaan dengan uang kertas.
Alasan mengapa kaum ulama modernis mengambil pandangan yang menyimpang
tentang riba pada akhirnya adalah secara senagaja dan tidak adalah untuk
mensahkan sistem perbankan (uang kertas dan bunga) yang sebetulnya
tidak bisa diterima. Kegagalan ulama modern dalam memahami
teknik kapitalis ini mengakibatkan pembenaran dikemudian hari yang
menjelma menjadi perbankan Islam atau perbankan syariah.
Prinsip darurat digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah
memungkinkan mereka membenarkan penggunaan uang kertas dan pada
gilirannya membenarkan perbankan dengan cadangan uang (fractional
reserve banking) yang merupakan basis sistem perbankan hari ini yang
dimampankan dalam sistem demokrasi.
Dari ini sini jelas terlihat posisi uang kertas posisi uang kertas
dalam muamalah Islam. Dalam islam semua transaksi jual beli harus
memenuhi tiga syarat:
1. Sukarela atau disebut antaroddin minkum,
2. Setara atau disebut mithlan bi mithlin, dan
3. Kontan atau disebut yaddan bi yaddin.
Uang kertas, namanya dolar, euro atau pounsterling atau apa saja,
tidak dapat memenuhi ketiga syarat tersebut. uang kertas tidak sukarela,
tidak setara, dan tidak kontan. jadi, mau buat beli telor, beras,
kambing atau buat membayar apa pun, uang kertas tidak bisa digunakan,
batil, haram hukumnya.
Uang kertas tidak dapat memenuhi ketiga syarat jual-beli tersebut,
karena di dalamnya mengandung dua jenis riba sekaligus yaitu:
1.Riba al Fadl (karena ketidaksetaraannya itu), dan
2.Riba an Nasiah (karena penundaan pembayarannya) tersebut. Jadi jelas,
uang kertas itu, haramnya berlipat dua.
Hari ini uang kertas dan sistem
perbankan riba dimasukan ketengah kaum muslim Indonesia yang di
integrasikan (dimapankan) lewat kuda trojan bernama demokrasi. (Wahyuni/11096082/11.5B.24)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar