Rabu, 28 Desember 2011

Riba Dalam Islam

Allah subhanahuwa ta’ala dan Rasulullah salallaahu alayhi wasallam dengan jelas mengharamkan riba-yakni termasuk menetapkan dan mengambil bunga:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. al-Quran 2 : 275 – 278
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”al-Quran 3 : 130 – 13
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Nafi’bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata,“Jika seseorang meminjamkan sesuatu, biarkan kondisi satu-satunya yang dilunasi.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.94
Malik meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Jika seseorang membuat pinjaman, mereka tak boleh menetapkan perjanjian lebih dari itu. Meski hanya segenggam rumput, itu adalah riba.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.95
Abdullah ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah salallaahu alayhi wasallam melaknat mereka yang menerima, yang membayar, yang menyaksikan, dan yang mencatat riba. Sunah Imam Abu Dawud: 16.1249.
Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
Kelebihan ini mengacu pada dua hal:
1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang fakih, memaparkan beberapa sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi:
1. Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
2. Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
3. Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
4. Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
5. Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
6. Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
7. penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
8. atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
Perlu diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab utama. Dua aspek ini telah mendorong para ulama mendefinisikan dua jenis riba. Ibnu Rusyd mengatakan : ‘Para hakim secara ijma mengatakan tentang riba dalam buyu’ (perdagangan) dalam dua jenis yaitu penundaan (nasi’ah) dan kelebihan yang ditentukan (tafadul)
Jadi, ada dua jenis riba:
1. Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Transaksi utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur penambahan. Seseorang meminjamkan anda uang Rp 500.000, dan peminjam melunasinya, setelah tertunda beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama, IDR 500.000. Penundaan waktu dalam utang-piutang ini dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya tidak dibenarkan dan hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah riba al-fadl.
Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu. Riba al-fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman, riba al-fadl merupakan bunga yang harus dibayar. Namun pada umumnya riba ini mewakili peningkatan tambahan terhadap nilai tanding yang diminta oleh satu pihak.
2. Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan) yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas, perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
‘Ayn (nyata) merupakan barang dagangan yang nyata, sering disebut sebagai tunai. Dayn (tidak nyata) merupakan janji untuk membayar atau hutang, atau apa saja yang pembayarannya atau pelunasannya ditunda. Menukar (safar) dayn untuk ‘ayn dari jenis yang sama disebut riba an-nasiah. Menukar dayn untuk dayn juga haram. Dalam penukaran, yang boleh dipertukarkan hanya ‘ayn dengan ‘ayn.
Riba an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam pertukaran (safar) jenis benda yang serupa. Tetapi pengharaman ini diperluas sampai perdagangan umum jika dayn (sesuatu yang yang tidak nyata) mewakili uang yang melampaui fungsi sebenarnya  dan menggantikan ‘ayn (sesuatu yang nyata) sebagai alat pembayaran umum. Memahami riba an-nasiah amat sangat penting agar mampu mengerti kedudukan kita berkenaan dengan uang kertas. Alasan mengapa kaum ulama modernis mengambil pandangan yang menyimpang tentang riba pada akhirnya adalah secara senagaja dan tidak adalah untuk mensahkan sistem perbankan (uang kertas dan bunga) yang sebetulnya tidak bisa diterima. Kegagalan ulama modern dalam memahami teknik kapitalis ini mengakibatkan pembenaran dikemudian hari yang menjelma menjadi perbankan Islam atau perbankan syariah. Prinsip darurat digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah memungkinkan mereka membenarkan penggunaan uang kertas dan pada gilirannya membenarkan perbankan dengan cadangan uang (fractional reserve banking) yang merupakan basis sistem perbankan hari ini yang dimampankan dalam sistem demokrasi.
Dari ini sini jelas terlihat posisi uang kertas posisi uang kertas dalam muamalah Islam. Dalam islam semua transaksi jual beli harus memenuhi tiga syarat:
1. Sukarela atau disebut antaroddin minkum,
2. Setara atau disebut mithlan bi mithlin, dan
3. Kontan atau disebut yaddan bi yaddin.
Uang kertas, namanya dolar, euro atau pounsterling atau apa saja, tidak dapat memenuhi ketiga syarat tersebut. uang kertas tidak sukarela, tidak setara, dan tidak kontan. jadi, mau buat beli telor, beras, kambing atau buat membayar apa pun, uang kertas tidak bisa digunakan, batil, haram hukumnya.
Uang kertas  tidak dapat memenuhi ketiga syarat jual-beli tersebut, karena di dalamnya mengandung dua jenis riba sekaligus yaitu:
1.Riba al Fadl (karena ketidaksetaraannya itu), dan
2.Riba an Nasiah (karena penundaan pembayarannya) tersebut. Jadi jelas, uang kertas itu, haramnya berlipat dua. 
Hari ini uang kertas dan sistem perbankan riba dimasukan ketengah kaum muslim Indonesia yang di integrasikan (dimapankan) lewat kuda trojan bernama demokrasi. (Wahyuni/11096082/11.5B.24)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar