Kamis, 29 Desember 2011

Riba Dalam Islam

            Nama      : Dede Irma Muslimah
                    Nim       : 11094933

                    Kelas     : 115B24
                                 
RIBA DALAM ISLAM
Definisi Riba Menurut Koperasi Syariah :
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba

Riba Dalam Islam Menurut MUI
Fatwa MUI No.1 Tahun 2004 Tentang Bunga
Pertama : Pengertian Bunga dan Riba
1. Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-Qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermuamalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah diperbolehkan melakukan kegiatan transkasi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.
Jakarta. 05 Dzulhijjah 1424 H 24 Januari 2004
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA,
Ketua: K.H. Ma’ruf Amin
Sekretaris: Drs. Hasanudin, M.Ag

Riba Dalam Islam | Definisi Riba Hukum Riba Contoh Riba

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 : …padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. Jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti.
Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. Dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya, yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam.
Berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. Maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.

Fatwa MUI no 1 tahun 2004 tentang bunga bank riba dikeluarkan, sebelum adanya fatwa ini keharaman bunga bank memang masih banyak diperdebatkan, organisasi masa Islam yang besar-besar pun saat itu belum menyatakan bahwa bunga bank adalah riba. Tetapi setelah adanya fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa – Majelis Ulama Insonesia – yang mewakili seluruh elemen penting umat Islam negeri ini – maka sudah tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan, tinggal tantangannya adalah bagaimana kita bisa mengikuti fatwa para ulama ini dengan mencari solusinya.
Karena isi dari fatwa tersebut diatas tidak hanya terbatas pada produk-produk perbankan tetapi juga menyangkut seluruh produk-produk institusi keuangan lainnya, lantas bagaimana para eksekutif dan karyawan perbankan serta industri keuangan lainnya merespon fatwa ini ?. Secara umum saat itu saya berusaha memetakannya kedalam empat kelompok yang merespon-nya secara berbeda.
Kelompok pertama adalah kelompok yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang adanya fatwa tersebut diatas – bagi kelompok ini, ada atau tidak adanya fatwa riba ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap pekerjaannya hingga kini. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang tahu ada fatwa ini – tetapi mereka merasa ‘lebih tahu’ tentang haram tidaknya bunga bank – maka bagi kelompok yang kedua ini fatwa diatas juga tidak berpengaruh pada pekerjaannya.
Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan berusaha mentaatinya – hanya tidak atau belum tahu harus bagaimana. Kelompok yang keempat adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan mulai membuat rencana-rencana bagaimana menjauhi riba dalam kehidupan modern yang bentuk-bentuk ribanya sudah sangat sophisticated ini. Untuk kelompok ketiga dan keempat inilah tulisan ini saya buat, mudah-mudahan bermanfaat.
Pasca keluarnya fatwa tersebut diatas, saya juga berusaha memetakan lebih jauh lagi seperti apa sesungguhnya riba yang mengepung kehidupan kita sehari-hari ini – bukan hanya mengepung para eksekutif dan pekerja di perbankan dan industri keuangan lainnya, tetapi mengepung seluruh masyarakat pekerja. Kepungan riba atau saya sebut sebagai lingkaran riba ini dapat dilihat pada ilustrasi dibawah ini. Lingkaran merah adalah ribanya, sedangkan garis-garis putih adalah celah-celah dimana kita bisa (berusaha) keluar dari lingkaran riba ini. Anda bisa perhatikan bahwa celah ini begitu kecil untuk menunjukkan betapa susahnya keluar dari lingkaran riba itu sekarang.

Melihat betapa sulitnya kita keluar dari lingkaran riba di jaman ini, maka sangat bisa jadi jaman ini adalah jaman yang sudah dikabarkan ke kita oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam melalui haditsnya :
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, HR Sunan Abu Dawud, HR. al-Nasa’i dari Abu Hurairah).
Untuk menggambarkan betapa riba tersebut telah mengepung Anda, berikut adalah situasinya :
· Bila Anda bekerja di perusahaan atau instansi apapun kini, hampir dapat dipastikan perusahaan atau instansi Anda menaruh sebagian besar dananya di bank konvensional dalam bentuk rekening koran, deposito dlsb. Bunga kemudian mengalir ke rekening ini – dan sampai pula ke gaji Anda, tunjangan, bonus dlsb.
· Selain gaji, sebagai karyawan Anda juga memperoleh jaminan kesehatan, dana pensiun, jaminan perlindungan kecelakaan kerja dlsb. Dimana dana-dana ini dikelola ? lagi-lagi mayoritasnya adalah di industri keuangan konvensional yang terkena fatwa riba tersebut diatas.
· Darimana Anda bisa tahu bahwa sebagian besar perusahaan atau instansi menggunakan bank dan industri keuangan konvensional untuk menaruh atau mengelola uangnya ?, Anda bisa tahu dari pangsa pasar bank dan industri keuangan syariah yang masih sangat kecil dibandingkan dengan yang konvensional. Artinya mayoritas perusahaan dan instansi masih menggunakan yang konvensional ketimbang yang syariah.
Terlepas dari adanya kritik sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa bank dan industri keuangan syariah-pun belum sepenuhnya syar’i, saya condong untuk mengajurkan penggunaan yang sudah berusaha menuju yang syar’i ini ketimbang yang terang-terangan tidak menghiraukan fatwa riba tersebut diatas.
Untuk bank konvensional yang infrastruktur teknologi dan layanannya sudah jauh lebih unggul yang dalam realitasnya sudah banyak memberi manfaat untuk kepentingan transfer dana dlsb. Bisa saja bank-bank seperti ini tetap digunakan tetapi produk-produk ribawinya harus dihilangkan. Rekening koran misalnya tidak usah diberi bunga, tetapi gantinya diberikan dalam bentuk layanan yang sebaik-baiknya – karena masyarakat yang sadar keharaman bunga bank tidak membutuhkan bunga tetapi membutuhkan layanan yang baik. Produk semacam deposito misalnya, tidak perlu lagi digunakan karena kalau ada kelebihan dana – diputar di bisnis yang riil insyaAllah sudah akan lebih baik daripada sekedar ditaruh di deposito.
Untuk produk-produk asuransi, dana pensiun, jaminan kesehatan , jaminan kecelakaan kerja dlsb. menurut saya harus ada perlindungan konsumen muslim secara maksimal, jangan sampai pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak ini dipenuhi atau dikelola secara ribawi. Bayangkan misalnya ada keluarga Anda jatuh sakit, tetapi kemudian dirawat oleh perusahaan dengan jaminan asuransi yang dikelola secara ribawi (berdasarkan fatwa tersebut diatas) – do’a orang sakit yang seharusnya terkabulkan menjadi tidak terkabulkan karena pengaruh riba yang bisa jadi tidak Anda sadari.
Begitu pula ketika Anda berangkat pensiun, sudah seharusnya pada usia ini Anda berusaha mendekat kepada Sang Maha Pencipta. Tetapi tanpa Anda sadari, dana pensiun yang Anda gunakan sebagai bekal sebagiannya berasal dari riba yang terbawa oleh pengelolaan dana pensiun yang juga belum menghiraukan fatwa riba tersebut diatas.
Solusi bank syariah, asuransi syariah, dana pensiun syariah dlsb. bisa terus disempurnakan dan diupayakan untuk menjadi solusi yang bener-bener syar’i; namun solusi syar’i yang paling luas aplikasinya dan sesuai tuntunan yang sesungguhnya adalah menggalakkan perdagangan atau jual beli dan sedekah. Di dalam Al-Quran, ‘lawan’ dari riba hanyalah jual beli dan sedekah; maka inilah yang seharusnya digalakkan di masyarakat dan diajarkan sejak anak-anak. Anak-anak lebih baik diajari berdagang dan bersedekah ketimbang diajari menabung.
“… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS 2 : 275)
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…” (QS 2 : 276).
Tetapi jual beli-pun mudah sekali terjatuh pada riba bila tidak mengikuti ketentuan syariat jual beli, inilah sebabnya mengapa Umar bin Khattab ketika menjadi muhtasib (pengawas pasar)sering mengingatkan masyarakatnya untuk tidak berjualan dipasarnya bila tidak memahami syariat jual beli. Salah satu dari upaya konkrit untuk menumbuhkan keahlian dan kesempatan bagi masyarakat untuk bisa berjual beli secara syar’i ini kami wujudkan dalam bentuk antara lain berdirinya Al Tijaarah Institute yang hadir bersamaan dengan Bazaar Madinah, lha wonguntuk menumbuh suburkan yang riba saja ada institut-institut-nya kok – masak kita tidak membangun kekuatan yang minimal sama untuk melawannya !,. InsyaAllah…

Rektor UMM: Bunga Bank Beda dengan Riba

MALANG–Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendy, mengungkapkan persoalan bunga bank sebenarnya masih belum menemui keputusan final dari Majelis Tarjih. Soal haram-halal bunga bank itu akan diserahkan lagi pada PP Muhammadiyah untuk dibahas di Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta mendatang.
Menurut Muhadji, bunga bank tidak sama dengan riba. ‘’Saya sendiri tidak setuju kalau bunga bank itu diputuskan haram. Sebab, antara bunga bank dan riba itu beda,’’ jelasnya di Malang.
Alasannya, riba itu merupakan saudara kembar transaksi. Tidak akan ada transaksi tanpa riba. Begitu juga sebaliknya, tidak akan terjadi transaksi, tanpa ada riba. Hanya saja, kata dia, transkasi itu dikehendaki, sedangkan riba tidak. Tapi, keduanya tak mungkin bisa dipisahkan. Ibaratnya, dua sisi mata uang seperti laki-laki dan perempuan. Keduanya berpasangan, tapi lain jenis.
Sedangkan riba itu sendiri, menurut dia, ada dua. Ada riba yang tidak dikehendaki, ada juga riba yang tak bisa dihindari. Itu pun, menurut dia, masih bisa diperinci lagi, ada riba yang disengaja dan ada riba yang tak disengaja. ‘’Ini terjadi karena terkait dengan manfaat dan risiko,’’ tutur dia.
Dalam bertransaksi, menurut Muhadjir, apakah masuk kategori riba jika yang meminjam modal ke bank itu mendapatkan manfaat justru lebih besar lagi. Begitu juga dengan pemilik modal yang memberikan pinjaman, apakah salah jika mendapat tambahan pengembalian, karena sudah menanggung resiko.

Di Mata NU, Hukum Bunga Bank Masih Khilafiyah
Berbeda dengan MUI dan Muhammadiyah, NU justru menilai bunga bank belum sepenuhnya diharamkan, karena masih ada yang khilaf (beda pendapat) soal penetapan hukum haram itu.
“NU kan dulu sudah ada yang membahas, hukumnya ada khilafiyah. Ada yang membolehkan, ada juga yang mengharamkan,” kata mantan anggota Mustasyar PBNU KH Ma’ruf Amin, Ahad (4/4/2010).
Menurut anggota wantimpres ini, dalam musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
…dalam pembahasan NU, bunga bank hukumnya khilafiyah. Ada yang membolehkan, ada juga yang mengharamkan…
“Ketika tahun 1992, munas alim ulama tidak membuat keputusan tunggal, karena menghargai adanya perbedaan yang terjadi antara ulama dengan dalilnya masing-masing. Makanya hukum bunga bank masih khilafiyah (ada perbedaan),” kata dia.
Namun demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah merekomendasikan kepada negara agar segera memfasilitasi terbentuknya perbankan syariah atau perbankan yang menggunakan asas-asas dan dasar hukum Islami dalam bertransaksi.
“Tapi saat itu keputusannya agar segera dibentuk bank Islami yang sesuai syariah. Mungkin dalam bahasa sekarang itu, ya bank syariah,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar