Selasa, 27 Desember 2011

Sebab-sebab Perbedaan dalam Fiqh

Sebab-sebab Perbedaan dalam Fiqh (Ikhtilaf Mahmud) Perbedaan dalam furu’  (cabang) fiqh yang biasa terjadi antara sahabat dan juga antara imam madzhab disebabkan oleh banyak hal. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun menulis kitab khusus masalah tersebut yang berjudul “ Rof’ul malam an a’immatil a’laam “. Berikut kami sebutkan sebagian kecil faktor yang menyebabkan adanya perbedaan tersebut, sebagai gambaran umum bagi kita dalam memahami perbedaan fiqh yang ada dalam masyarakat kita.

Pertama : Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia, serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan : " terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya ". Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan. Contoh lain dalam masalah ini adalah perbedaan dalam masalah anjuran mencium dan mengusap Hajar Aswad dalam ibadah Thowaf. Ibnu Umar ra dengan semangatnya tetap ikut berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad, sementara Ibnu Abbas cenderung untuk menghindari hal tersebut dan cukup hanya dengan memberi isyarat atau melambaikan tangan saja.

Kedua : Perbedaan karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak, atau salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil tersebut sudah dinaskh (hapus). Ada kalanya ada sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan : "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini "
Contoh riilnya adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.

Ketiga :  Perbedaan dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits. Maka yang menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam kitab fikh, seperti masalah sholat Tasbih ada yang menganggapnya sunnah dan sebagian lain melarangnya, karena perbedaan dalam menilai kuat dan lemahnya sebuah hadits.

Keempat : Perbedaan dalam memahami lafadz sebuah dalil . Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) atau mempunyai makna yang beragam dan berbeda. Seperti lafadz Quru’ dalam masalah perceraian (talak). Atau sebab kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi). Contoh dalam masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.

Kelima : Perbedaan dalam metodologi pengambilan sebuah hukum (istinbath). Dalam kajan Ushul Fiqh, kita mengenal bahwa setiap imam mempunyai prioritas yang berbeda-beda dalam menentukan urutan dalil syar’inya. Setelah mereka bersepakat urutan pertama dan kedua adalah Al-Quran dan Sunnah, maka urutan berikutnya terdapat banyak perbedaan. Bahkan ada sebuah dalil bagi madzhab tertentu yang mungkin tidak dianggap oleh ulama madzhab lainnya.

Menyikapi Perbedaan dalam Fiqh
Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya  Fiqh Ikhtilaf memaparkan tentang landasan pemikiran dalam menyikapi perbedaan fiqh, secara singkatnya sebagai berikut :
  1. Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu' adalah sesuatu yang dharurah dan rahmat. Sehingga penyatuan pendapat adalah sesuatu yang cenderung tidak mungkin, dan jika dipaksakan justru akan mengarah pada perpecahan. Yang lebih diperlukan adalah kesadaran akan perbedaan tersebut.
  2. Mengikuti manhaj yang moderat / pertengahan dan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya “ urusan yang terbaik adalah yang pertengahan”.
  3. Hendaknya kita fokus pada hal-hal yang muhkamat atau jelas penafsirannya,  dan menghindari perdebatan seputar hal yang mutasyabihat (masih rancu). 
  4. Tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable, begitupula tidak meyakini dan mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah : “ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain”.
  5. Pentingnya membaca dan menelaah perbedaan di antara ulama, sebab dan dalil-dalinya. Hal ini untuk menguatkan toleransi dan menghindari sikap reaktif dalam menanggapi perbedaan.
  6. Menyibukkan diri dengan agenda umat yang lebih besar dan prioritas. Membahas dan menanggapi masalah khilafiyah tidak akan pernah selesai, yang ada justru melemahnya kesatuan umat. Karenanya lebih prioritas untuk bekerja secara riil demi kemaslahatan umat, dari pada sibuk berdebat dalam masalah khilafiyah.
  7. Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati, serta saling bertoleransi dan memahami dalam hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa disepakati.
Akhirnya, semoga Allah SWT memudahkan setiap upaya kita untuk menyatukan umat. Wallahu a’lam bisshowab. (Toyibah/11094934/11.5B.24)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar