Kamis, 29 Desember 2011

siti nurhasanah
11092358

Membangun Kesalehan Sosial

Bagaimana Anda melihat kehadiran atau peran umat Kristiani di masyarakat kita?
Terang bisa menyilaukan kalau terlalu terang. Jadi kalau umat Kristiani di Indonesia hanya mengandalkan terang bahkan terlalu menyilaukan dengan gerakan atau simbol, itu akan mendatangkan kegelapan sehingga orang tidak bisa melihat. Muncul kegelapan baru karena terlalu silau. Sementara garam tidak kelihatan tapi pengaruhnya terasa.

Apa yang dilakukan supaya tidak terlampau terang atau tidak menyilaukan?
Ya, seperti garam. Kita di Indonesia sangat unik. Agama-agama di Indonesia sangat berpotensi untuk berkembang, meski mayoritas penduduk beragama Islam. Kita bisa menyiarkan acara bernuansa Kristiani lewat radio atau televisi dengan leluasa. Fenomena seperti itu bahkan tidak mudah ditemui di Barat. Kebebasan kita besar. Isu-isu tentang keteraniayaan hendaknya tidak dipolitisasi untuk mendapat simpati asing.

Lantas fenomena pembakaran gereja atau tindakan kekerasan lainnya yang menimpa gereja, Anda tidak lihat sebagai penganiayaan?
Ya jelas saya melihatnya. Tapi kita jangan hanya melihat satu titik ini. Mari kita lihat secara keseluruhan sambil membandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini harus dilakukan supaya kita lebih seimbang. Saya ambil contoh, di negara sekular, di sekolah negeri tidak ada pelajaran agama Kristen. Nama Yesus tidak boleh disebut dalam konteks kesaksian pribadi di depan kelas. Kalau mau berdoa, ya umum saja, jangan menyebut Yesus. Bahkan, ini terjadi di negara dulunya tempat lahir Gerakan Reformasi Protestan atau negara yang pemimpinnya Kristen fundamentalis seperti George Bush.

Apa yang menyebabkan Indonesia sangat unik dalam hal ini?
Ada ideologi Pancasila dan jaminan oleh konstitusi. Selain itu, pada dasarnya masyarakat kita memiliki toleransi yang tinggi. Toleransi merosot setelah kita didera konflik-konflik primordial yang berkepanjangan. Juga ada pengaruh dari kian kuatnya paham keagamaan transnasional. Kdg terlontar tuduhan bahwa orang Kristen hanya indekos di Indonesia jelas tendensius. Namun, ada baiknya kita melakukan refleksi. Sejauh mana partisipasi kita sebagai umat? Umat baru turun ke jalan ketika kepentingannya terusik, seperti soal amandemen Pasal 29 UUD 1945 atau RUU Sistem Pendidikan Nasional. Semenstinya keterlibatan orang Indonesia Kristen terlihat dalam kepentingan-kepentingan bersama. Ada beda penghayatan antara apakah orang pertama-tama merasa sebagai Kristen yang kebetulan lahir di Indonesia dan apakah ia merasa orang Indonesia yang kebetulan Kristen.
Anda katakan, kalau kepentingannya terusik baru orang Kristen bergerak. Artinya orang Kristen itu egoistis?
Tidak spesifik untuk orang Kristen. Pada umumnya orang beragama mengembangkan kesalehan individual-vertikal. Kesalehan sosial-horizontal kurang berkembang. Terjadi dikotomi seolah-olah kesalehan individual bisa berdiri sendiri tanpa kesalehan sosial. Ihwal surga dan neraka terlalu ditekankan, sehingga kesalehan dalam keseharian diabaikan. Ada kecenderungan pada sebagian orang seakan-akan kesalehan sosial otomatis terbentuk sesudah orang beriman atau berdoa. Percaya Yesus tidak langsung membuat seorang majikan memerhatikan hak-hak karyawannya. Setelah percaya Yesus secara pribadi, mestinya yang bersangkutan dibimbing dalam gereja untuk memupuk kesalehan dalam keseharian. Sayangnya, banyak gereja terlalu menekankan kesalehan individual. Gereja puas kalau anggota jemaatnya menjadi guru Sekolah Minggu. Jarang khotbah yang menyebut etika bisnis. Kepada umat lebih diajarkan prinsip “yang penting percaya Tuhan, nanti usahamu pasti lancar dan diberkati.” Akibatnya, orang tergoda mencari simbol-simbol diberkati agar dapat pengakuan dari sesama bahwa ia termasuk kaum yang diberkati.

Cara pandang semacam ini sudah berlangsung lama dan diperparah oleh dikotomi rohani – sekuler. Bagaimana kita keluar dari persoalan ini?
Kalau kita melihat dunia ini sebagai milik Bapa, maka kita akan berupaya memeliharanya secara bertanggung jawab. Sayangnya, pemahaman kita itu sering berhenti pada kata-kata atau nyanyian gereja. Dalam praktiknya, kita abai. Kita tahu, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Kita mengagungkan Allah sebagai Sang Pencipta. Namun, kita abai, pada mulanya manusia dan taman. Urusan pertama manusia yang konkret adalah mengurus taman. Jadi, Kej. 1:28 adalah perintah umum untuk beranak cucu dan menaklukkan bumi. Menaklukkan itu baru jelas dalam Kej. 2:15 yang menggambarkan manusia mengurus taman. Kini, kita masing-masing diberi tanggung jawab. Ada taman yang harus diurus. Bagi saya, taman adalah rumah, keluarga, atau pekerjaan. Bagi lurah, taman adalah kelurahan. Camat adalah kecamatannya. Presiden adalah seluruh negeri, Bagi pegawai, taman adalah pekerjaannya. Dalam tanggung jawab masing-masing itu, kesalehan sosial kita diuji.

Sekali lagi, apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kesalehan sosial mengingat para pemimpin agama cenderung antikesalehan sosial dan hanya menekankan hubungan pribadi dengan Tuhan?
Jangan terjebak dalam wacana doktrinal yang tanpa akhir. Praksis beragama penting. Paling tidak setahun sekali, gereja yang ada di lingkungan perumahan melakukan kerja bakti membersihkan got-got. Jangan cuma datang ke lingkungan lain dan memenuhinya dengan kendaraan yang diparkir, yang tidak jarang bikin jengkel warga lain. Kita memiliki praktik-praktik sosial warisan zending yakni rumah sakit dan sekolah. Jangan sampai institusi kesehatan dan pendidikan terjebak ke dalam bisnis. Visi sosial gereja harus nyata dalam kedua bidang itu. Gereja perlu memiliki pergeseran paradigma bermisi. Yang diutus ke daerah tidak hanya penginjil, tetapi bisa guru atau insinyur. Biarlah para profesional Kristen membangun desa dan daerah tertinggal dengan tunjangan hidup yang cukup untuk keluarganya agar mereka bisa dengan tenang membangun umat secara holistik. Gereja harus mengalokasikan dana lebih kepada pembangunan sumber daya manusia daripada gedung yang terdiri dari batu-batu yang mati.

Tampaknya, hal ini merupakan kecenderungan semua agama atau kaum beragama. Kenapa?
Mungkin karena gedung adalah sesuatu yang langsung kelihatan. Alasannya, untuk kemuliaan Tuhan. Padahal, Tuhan sendiri mungkin tidak peduli seperti dialog dalam cerpen A. A. Navis “Robohnya Surau Kami.” Itulah reifikasi kesalehan. Kesalehan yang dibendakan. Seandainya dana besar yang terpakai untuk membangun rumah ibadah atau pusat keagamaan yang mewah dialihkan untuk membangun gedung sekolah yang roboh, memberi pembekalan kepada para siswa sekolah agama agar siap hidup mandiri, tentu besar sekali manfaatnya bagi bangsa.
(Bahana)
“Umat Kristen sering tidak mau tahu bagaimana
orang lain memandang mereka.”
Meski dikenal luas sebagai  pengkotbah, pengajar, penulis buku dan kolumnis media nasional, Yonky Karman lebih menyukai diteladani sebagai seorang kepala rumah tangga. Peran tersebut betul-betul dinikmatinya. Baik ketika mendampingi istri bertugas di pedalaman atau membacakan cerita kepada anak sebagai pengantar tidur. Waktu luang dinikmati dengan berenang atau mengajak keluarganya ke toko buku.
Mendidik anak merupakan hal penting bagi dosen STT Jakarta ini. Misalnya, meski terkesan dengan hobi dan keahlian putranya merakit robot, ia sangat membatasi pengeluaran untuk mainan anak. “Kami tidak ingin anak kami konsumtif dalam mainan. Adrian harus belajar menghargai miliknya dan tahu bersyukur, karena banyak anak tidak seberuntung dia,” katanya.
Sebagai anak bangsa yang haus pengetahuan, penulis Merayakan Hidup dalam Keberagaman yang diterbitkan PBMR ANDI ini punya pengalaman menarik. Ia menghabiskan 3,5 tahun pertama dari total lima tahun masa studi doktoralnya di pedalaman. Sebagai satu-satunya mahasiswa dari Indonesia, terselip rasa bangga bersaing dengan teman-teman lain dari negara-negara maju. Tiap tahun ia pergi ke Belgia untuk colloquium, sambil mengumpulkan banyak bahan fotokopi untuk dipelajari di Indonesia. “Saya sungguh takjub dengan perpustakaan teologi Universitas Katolik Leuven yang berjumlah lebih dari 1 juta buku tanpa duplikasi.”
Dengan menggunakan jasa e-mail, Yonky meladeni pertanyaan redaksi Bahana. Berikut petikannya:
Pengalaman apa yang paling berkesan bagi Anda
Pengalaman berkeluarga. Saya menikah dan mendampingi istri selama 3,5 tahun yang bekerja sebagai tenaga medis di sebuah rumah sakit untuk orang miskin di pedalaman Kalimantan Barat. Di sana saya lebih mengenal Tanah Air, termasuk ketertinggalan daerah Indonesia timur. Saat itu, rumah kami tanpa televisi dan telepon. Namun, artikel saya di surat kabar nasional justru mulai dari sana. Tuhan mengkondisikan suasana yang tenang agar saya bisa mulai mengasah talenta menulis.

Bagaimana ceritanya sampai Anda menjadi pelayan Tuhan?
Panggilan untuk menjadi pelayan Tuhan menggema pada tahun terakhir di SMA. Tetapi saya menghindar dengan masuk Fakultas Biologi Universitas Nasional. Bersama beberapa teman, saya merintis sebuah pos Sekolah Minggu, yang kini sudah berkembang menjadi jemaat. Tahun kedua kuliah, saya membaca sebuah buku tentang penggembalaan dan diantaranya membahas kemuliaan melayani “jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Kis. 20:28). Saya kemudian mengkomunikasikannya kepada gembala gereja. Beliau mengatakan waktu pendaftaran seminari untuk tahun ajaran baru telah tutup, namun bisa dicoba. Untuk mengatasi kebimbangan, saya mengisi formulir pendaftaran sekolah dan mengirimkannya. Saya berharap ditolak. Tetapi saya diterima dengan catatan sebaiknya menyelesaikan studi dulu. Namun, bagi saya itu suatu jawaban bahwa saya harus masuk seminari tahun itu.

Bagaimana keterlibatan Anda dalam pelayanan melalui tulisan di berbagai media?
Saya biasa menulis dalam jurnal teologi. Namun, pembacanya terbatas. Saya rindu pembaca yang lebih luas. Media yang mudah dijangkau dan bersifat massal adalah surat kabar. Pertama kali tulisan saya dimuat oleh koran terbesar di pedalaman Kalbar. Lalu, tulisan yang sering dimuat adalah renungan Minggu. Koran bisa masuk ke kampung-kampung tanpa saya harus meninggalkan rumah. Dari situ, saya mulai menulis untuk koran nasional. Berkali-kali ditolak, akhirnya tulisan pertama yang dimuat adalah dalam rangka polemik amandemen Pasal 29 UUD 1945. Tiga minggu kemudian, dimuat lagi tulisan mengenai latar Sila Pertama Pancasila. Media massa amat efektif dalam memengaruhi opini publik sekaligus sarana olah intelektual. Badan terkurung di suatu tempat, namun gagasan terbang jauh.

Bagaimana Anda memperoleh tema tulisan yang beragam?
Saya suka membaca. Bacaan saya dari tulisan yang menyangkut tema-tema sosial, filsafat, hingga novel yang mencerahkan. Saya bersyukur dikarunia perpustakaan pribadi yang mampu menenggelamkan saya dalam lautan gagasan. Selain itu saya menjalin hubungan dengan penyedia buku-buku bekas maupun baru di luar negeri. Saya juga memanfaatkan perpustakaan di sekolah tempat saya mengajar. Pernah juga saya khusus menjadi anggota Perpustakaan Nasional, hanya untuk bisa membaca karya Sjahrir.

Tulisan apa yang Anda nilai merupakan karya Anda terbaik?
Sulit menilai karya sendiri. Orang lain dan redaktur medialah yang menilai kelayakannya untuk konsumsi publik. Saya ikut senang mendapati tulisan saya dimasukkan ke dalam blog pribadi maupun situs departemen pemerintah. Artikel bertajuk “Robohnya Kesalehan Sosial” dimuat dalam situs Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanggung jawab saya adalah menulis, menulis lebih baik lagi.

Siapa tokoh idola dalam bidang yang tengah anda geluti?
Banyak penulis yang menjadi sumber inspirasi saya. Diantaranya teolog Perjanjian Lama Walter Brueggemann yang mampu merelevansikan Alkitab dengan berbagai isu sosial. Di bidang kepakaran bahasa Ibrani, saya mengagumi Prof (Em) T. Muraoka di Leiden, yang kebetulan cukup saya kenal secara pribadi. Saya juga senang membaca karya Noam Chomsky, dan Joseph E. Stiglitz. Dari dalam negeri saya suka karya Pramoedya Ananta Toer yang dengan ketajamannya membedah kekejaman kapitalisme dan penindasan rezim berkuasa. Saya selalu terkesan dengan integritas perjuangan mereka yang berpihak pada posisi yang lemah yang disertai integritas pribadi.

Kendala serius apa yang sekarang menghadang konsep Anda?
Dikotomi dalam kehidupan beragama. Agama direduksi menjadi kesalehan pribadi dan keselamatan di akhirat. Selain itu, parameter untuk sukses pelayanan bergeser kepada hal-hal terukur. Orientasi bergereja menjadi pragmatis. Perkembangan gereja tidak dilihat secara holistik menyatu dengan keindonesiaan.

Cita-cita apa yang ingin Anda capai?
Saya ingin perkembangan teologi di Indonesia kuat di teologi biblika dan kontekstualisasi teologi berakar dalam firman. Tampaknya minat untuk mendalami bahasa-bahasa asli Alkitab kurang sekali. Saya tengah mempersiapkan sintaksis Ibrani dan sebagian bahannya sedang dipakai untuk kelas Ibrani III di seminari. Saya harap dalam beberapa tahun ke depan, berhasil merampungkan bahan hermeneutik dengan orientasi membaca Perjanjian Lama sebagai teks dan kitab suci. Mudah-mudahan saya boleh berbagian dalam mempersiapkan gereja mendalami studi PL.

Bagaimana Anda menghubungkan pelayanan Anda dengan religiusitas Anda?
Pelayanan bukan sekadar kegiatan, tetapi juga bagaimana diri pelakunya. Hidup adalah suatu keutuhan. Maka, religiusitas sesuatu yang lekat dengan keseharian. Dalam berpikir, merenung, berinteraksi dengan dan berbuat sesuatu bagi orang lain. Religiusitas menyangkut being dan doing sekaligus. Kemunafikan memisahkan keduanya. Jika terpisah, aktivitas kehilangan nilai pemberatnya. Dan, aktivitas menjadi aktivisme.

Apakah sudah bisa dibilang bahwa kita sudah bisa hidup harmonis berdampingan dengan umat agama lain di Indonesia?
Secara umum ada kerukunan di antara umat beragama. Setidak-tidaknya jauh di lubuk hati masyarakat kita, ada kerinduan untuk hidup harmonis. Penguatan sentimen-sentimen primordial yang membuat umat tersekat-sekat adalah buah kelemahan negara. Negara Indonesia menjadi lemah karena keterlibatan terlalu jauh dalam urusan keagamaan, sehingga tidak bisa tegas menjamin kebebasan beragama yang menjadi hak dasar warga negara demokrasi. Jika tidak sanggup memajukan kehidupan beragama, keberadaan departemen agama minimal menjadi wasit yang adil dalam interaksi antaragama. Negara tidak dapat berperan optimal bagi seluruh rakyat, ketika ia mengurusi teologi dan kegiatan keagamaan. Lihatlah bagaimana urusan izin mendirikan tempat ibadah menjadi rumit tercampur sentimen keagamaan. Mestinya izin itu sama saja dengan izin membangun tempat untuk menyelenggarakan kegiatan publik. Tidak buat macet atau kotor lingkungan. Ada sarana parkir. Tidak mengganggu lingkungan.

Menurut Anda, opini publik apa yang telah terbentuk tentang citra kekristenan di Indonesia?
Kekristenan masih belum bisa melepaskan diri dari citra terkait Barat dan Yahudi, meski sejatinya tiada hubungan intrinsik. Sayangnya, umat Kristen sering tidak mau tahu bagaimana orang lain memandang mereka. Menurut saya, gereja harus mengupayakan kontekstualisasi iman Kristen dengan keindonesiaan. Kalau tidak, Kekristenan dilihat sebagai unsur asing.
Mengapa seolah-olah keberadaan gereja dan umat Kristen dirasakan sebagai ancaman sehingga harus dihambat?
Ketika pemerintah gagal menyejahterakan rakyat kecil, sebagian umat Islam menaruh harapan kepada agama sebagai harapan terakhir. Di antara komunitas keagamaan di Indonesia, umat Kristenlah yang paling gigih menolak syariatisasi negara. Maka, sebagian komponen bangsa memandang umat Kristen sebagai penghambat kesejahteraan mereka dalam ekspansi pelaksanaan syariat.

Apakah secara umum sudah ada “public relation” yang baik oleh dan tentang orang Kristen di media?
Saya kira yang terpenting bagi gereja adalah karya nyata di tengah bangsa. Selanjutnya, jika media menyoroti orang Kristen, ia disorot bukan terutama sebagai Kristen tetapi sebagai bagian dari bangsa. Untuk itu, gereja perlu melihat bagaimana orang lain melihatnya. Buka mata dan telinga. Jangan merasa sedang melakukan kehendak Tuhan secara vertikal, faktanya aktivitas itu tak bersentuhan dengan yang horizontal.

Apa yang harus dilakukan agar gereja dan orang Kristen bisa menjadi garam dan terang?
Saya kira, metafora terang dan garam bagi para pengikut Yesus perlu dibedakan. Terang langsung terlihat. Namun, terlalu terang malah menyilaukan dan tidak melihat apa-apa. Garam bekerja tak terlihat, berfungsi dengan jalan melebur, identitas kelompok larut, mencegah pembusukan masyarakat, mengawetkan hal-hal baik, menyedapkan citra rasa kehidupan bersama. Dalam hal ini, tampaknya fungsi garam umat Kristen masih tertinggal. Umat Kristen perlu merasa diri kecil, merapatkan barisan, menggalang sinergi pelayanan, terlibat dalam persoalan-persoalan bangsa.

Menurut Anda efektifkah menghadirkan pembicara Kristen dari luar negeri, dalam situasi dimana kekristenan mendapat tekanan?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengundang pembicara asing. Yang perlu dicermati adalah gaya beragama yang kebarat-baratan dan tidak cocok dengan budaya Indonesia, sehingga cara beragama kita tidak sesuai lagi dengan konteks Indonesia.

Peran denominasi gereja sangat besar. Kerap masalah meruncing menjadi persaingan. Bagaimana pemikiran Anda untuk mengatasinya?
Seharusnya kekuatan umat Kristen di Indonesia bersinergi meningkatkan kualitas SDM para pelayan jemaat, membangun basis pelayanan awam yang memasyarakat, membangun ekonomi umat, memberdayakan umat agar mampu menggarami masyarakat. Saya kira menjadi saksi Kristus seperti itu lebih sejuk dan kesaksian mendarat lebih mulus. Persoalannya apakah pemimpin kelompok rela mengesampingkan agenda membangun “katedral” pribadi.

——————————————————————————————————————–
BAHANA
1. Pengalaman apa yang paling berkesan, entah itu menegangkan, menyentuh, menyenangkan, menyedihkan, atau paling penting dalam perjalanan karier selama ini?
Pengalaman berkeluarga, menjadi suami dan ayah, berkesan sekali. Juga karena menikah dengan calon istri, selama 3,5 tahun saya mendampinginya bertugas sebagai tenaga medis di sebuah rumah sakit untuk orang miskin di pedalaman Kalimantan Barat. Istri sendiri sebelumnya sudah 3 tahun melayani di sana. Dengan menetap di sana, saya menjadi lebih kenal Tanah Air, termasuk ketertinggalan daerah Indonesia timur. Saat itu, rumah tanpa listrik PLN dan telepon biasa belum masuk. Namun, artikel saya di surat kabar nasional justru mulai dari sana. Saya juga menghabiskan 3,5 tahun pertama dari total lima tahun masa studi doktoral saya dari pedalaman Kalbar. Sebagai satu-satunya mahasiswa dari Indonesia, terselip sedikit rasa bangga mampu bersaing dengan teman-teman lain dari negara-negara maju. Tiap tahun saya pergi ke Belgia untuk colloquium, sambil mengumpulkan banyak bahan fotokopi untuk dipelajari di Indonesia. Saya sungguh takjub dengan perpustakaan teologi Universitas Katolik Leuven yang berjumlah lebih dari 1 juta buku tanpa duplikasi.

2. Bagaimana ceritanya sampai Anda memutuskan untuk menjadi pelayan/hamba Tuhan? Bagaimana proses pergumulan itu terjadi?
Saya jelas dengan panggilan untuk menjadi pelayan Tuhan pada tahun terakhir di bangku SMA. Setamat sekolah saya berupaya menghindar dengan masuk perguruan tinggi. Saya diterima di Fakultas Biologi Universitas Nasional dan prestasi akademis saya terbilang baik. Saat itu saya juga aktif dalam pelayanan gereja termasuk menjadi guru Sekolah Minggu. Bersama beberapa teman, kami sempat merintis sebuah pos Sekolah Minggu, yang kini sudah berkembang menjadi jemaat dewasa. Tahun kedua kuliah, saya membaca sebuah buku tentang penggembalaan dan diantaranya membahas kemuliaan melayani “jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Kis. 20:28). Betapa berharganya jemaat Allah! Ayat itu terus berbicara kepada saya. Namun, saya bimbang apakah tetap meneruskan sekolah atau masuk seminari. Saya mengkomunikasikan pergumulan saya kepada gembala gereja. Beliau mengatakan waktu pendaftaran seminari untuk tahun ajaran baru telah tutup, namun bisa dicoba. Untuk mengatasi kebimbangan, saya mengisi formulir pendaftaran sekolah dan mengirimkannya. Dalam hati kecil, saya lebih senang mendapat konfirmasi ditolak agar selanjutnya saya meneruskan studi biologi dengan tenang. Tidak lama kemudian, datang surat jawaban yang menyatakan saya diterima, disertai catatan sebaiknya saya menyelesaikan studi dulu. Namun, bagi saya itu suatu jawaban bahwa saya harus masuk seminari tahun itu. Dengan agak berat, saya meninggalkan kuliah dan masuk seminari. Jika menengok ke belakang, saya tidak tahu apakah keputusan saya itu bijak atau tidak. Yang jelas saya tidak akan mendorong orang lain untuk memutuskan kuliah di tengah jalan.

3. Bagaimana keterlibatan Anda dalam pelayanan melalui tulisan di berbagai media? Bagaimana visi itu melekat pada Anda?
Sebelum itu, saya biasa menulis dalam jurnal teologi. Namun, sidang pembacanya menjadi amat terbatas. Saya rindu untuk sidang pembaca yang lebih luas. Media yang mudah dijangkau dan bersifat massal adalah surat kabar. Pertama kali tulisan saya dimuat oleh koran terbesar di pedalaman Kalbar. Lalu, tulisan yang sering dimuat adalah renungan Minggu. Jika saya berkhotbah ke suatu tempat di Kalbar, pulang pergi menghabiskan banyak waktu dan bisa satu hari. Namun, koran bisa masuk ke kampung-kampung tanpa saya harus meninggalkan rumah. Dari situ, saya mulai menulis untuk koran nasional. Berkali-kali ditolak, akhirnya tulisan pertama yang dimuat adalah dalam rangka polemik amandemen Pasal 29 UUD 1945. Tiga minggu kemudian, dimuat lagi tulisan mengenai latar Sila Pertama Pancasila. Media massa amat efektif dalam memengaruhi opini publik sekaligus sarana olah intelektual. Badan terkurung di suatu tempat, namun gagasan terbang jauh, bahkan ke luar negeri melalui website.

4.  Tema-tema Anda sangat beragam. Bagaimana Anda memperolehnya?
Kebetulan saya suka membaca. Bacaan saya dari tulisan yang menyangkut tema-tema sosial, filsafat, hingga novel yang mencerahkan. Saya bersyukur dikarunia perpustakaan pribadi yang mampu menenggelamkan saya dalam lautan gagasan. Selain itu menjalin hubungan dengan penyedia buku-buku bekas maupun baru di luar negeri, saya memanfaatkan perpustakaan di sekolah tempat saya mengajar. Pernah juga saya khusus menjadi anggota Perpustakaan Nasional, hanya untuk bisa membaca karya Sjahrir.

5. Tulisan apa, dimana dimedia mana yang Anda nilai merupakan karya Anda terbaik? Dan mengapa Anda nilai sebagai yang terbaik?
Sulit menilai karya sendiri. Orang lain dan redaktur medialah yang kemudian menilai kelayakannya untuk menjadi konsumsi publik. Saya ikut senang mendapat apresiasi dari teman yang membacanya atau mendapati tulisan saya dimasukkan ke dalam blog pribadi maupun situs departemen pemerintah. Artikel bertajuk “Robohnya Kesalehan Sosial” dimuat dalam situs Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanggung jawab saya adalah menulis, menulis lebih baik lagi.

6. Dengan kesibukan yang sangat padat, bagaimana Anda membagi waktu untuk menulis, berkhotbah dan mengajar?
Sebenarnya saya tidak sibuk untuk ketiga urusan itu. Saya menghabiskan banyak waktu untuk persiapan mengajar. Waktu saya lebih banyak untuk membaca dan bekerja di depan komputer, serta bersama keluarga.

7. Siapa tokoh idola dalam bidang yang tengah anda geluti. Inspirasi apa anda adopsi dari mereka?
Sebuah pertanyaan sulit. Banyak sekali penulis, baik yang masih hidup maupun sudah almarhum, yang menjadi sumber inspirasi saya. Mungkin boleh disebut di antaranya adalah teolog Perjanjian Lama Walter Brueggemann yang mampu merelevansikan Alkitab dengan berbagai isu sosial. Di bidang kepakaran bahasa Ibrani, saya mengagumi Prof (Em) T. Muraoka di Leiden, yang kebetulan cukup saya kenal secara pribadi. Beliau giat berjuang menekan pemerintahnya (Jepang) untuk mengaku salah atas pelanggaran HAM di Asia Timur selama Perang Dunia Kedua. Tiap tahun, ia meluangkan waktu lebih dari sebulan untuk mengajar di negara-negara yang pernah mengalami kekejaman Jepang atas biaya sendiri sebagai bentuk sepersepuluhannya. Ia juga memperjuangkan nasib para wanita yang dijadikan budak seks untuk melayani tentara Jepang, termasuk jugun ianfu Indonesia dan menulis di media massa Jepang. Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak mau mengungkit masalah itu demi memelihara hubungan bisnis yang baik dengan Jepang. Di bidang kritik kebijakan luar negeri AS, saya senang membaca Noam Chomsky. Untuk globalisasi ekonomi, saya membaca Joseph E. Stiglitz. Di bidang sastra, Pramoedya Ananta Toer dengan ketajamannya membedah kekejaman kapitalisme dan penindasan rezim berkuasa. Masih banyak lagi nama di Indonesia yang sayang tak bisa saya sebut satu per satu. Pada dasarnya saya terkesan dengan mereka yang dengan integritas berjuang dan berpihak pada mereka yang dalam posisi lemah. Saya juga terkesan mereka yang mengupayakan pencerahan bagi masyarakat, apalagi jika disertai integritas pribadi.

8.  Nilai-nilai apa yang Anda perjuangkan?
Integritas. Solidaritas sebangsa terutama dengan yang lemah sebagai kesalehan sosial (horizontal) yang merupakan salah satu pengamalan kesalehan pribadi (vertikal).

9. Kendala serius apa yang sekarang menghadang konsep Anda?
Dikotomi dalam kehidupan beragama. Agama direduksi menjadi kesalehan pribadi dan keselamatan di akhirat. Kesalehan seperti itu diprogram secara sistematis dalam bentuk pengajaran, khotbah, dan kegiatan rohani. Selain itu, parameter untuk sukses pelayanan bergeser kepada hal-hal terukur. Orientasi bergereja menjadi pragmatis. Perkembangan gereja tidak dilihat secara holistik menyatu dengan keindonesiaan.

10. Apa tujuan hidup Anda? Cita-cita atau obsesi apa yang ingin Anda capai? Berapa lama target Anda itu akan tercapai? Apa ukurannya Anda merasa cita-cita itu telah tercapai? Bagaimana cara meraihnya?
Saya ingin berguna bagi bangsa dan gereja. Saya merasa ada rencana Tuhan saya terlahir sebagai orang Indonesia. Saya menimba ilmu di negeri orang dan terus belajar untuk diamalkan kepada sesama di Indonesia keluar dari kemelut. Saya ingin perkembangan teologi di Indonesia kuat di teologi biblika dan kontekstualisasi teologi berakar dalam firman. Tampaknya minat untuk mendalami bahasa-bahasa asli Alkitab kurang sekali. Jika Tuhan berkenan, saya sedang mempersiapkan sintaksis Ibrani dan sebagian bahannya sedang dipakai untuk kelas Ibrani III di seminari semester ini. Saya harap dalam beberapa tahun ke depan, saya berhasil merampungkan bahan hermeneutik dengan orientasi membaca Perjanjian Lama sebagai teks dan kitab suci. Mudah-mudahan saya boleh berbagian dalam mempersiapkan gereja mendalami studi PL.

11. Bagaimana Anda menempatkan pelayanan Anda? Apakah pelayanan ini panggilan hidup? Apa makna panggilan hidup menurut Anda?
Bagi saya, tiap orang ada panggilannya masing-masing. Melalui kesetiaan menjalani panggilan itu, hidup kita dibentuk, ditakar, dan ditimbang. Kesetiaan menjadi penting, termasuk setia dalam hal-hal kecil dan setia mengembangkan talenta yang ada.

12. Bagaimana Anda menghubungkan pelayanan Anda dengan religiusitas Anda? Apakah keduanya bisa berjalan seiring, atau keduanya dunia yang berbeda?
Pelayanan bukan sekadar kegiatan, tetapi juga bagaimana diri pelakunya. Hidup adalah suatu keutuhan. Maka, religiusitas sesuatu yang lekat dengan keseharian. Dalam berpikir, merenung, berinteraksi dengan dan berbuat sesuatu bagi orang lain. Religiusitas menyangkut being dan doing sekaligus. Kemunafikan memisahkan keduanya. Jika terpisah, aktivitas kehilangan nilai pemberatnya. Dan, aktivitas menjadi aktivisme.

13. Apakah Anda merasakan secara jelas bahwa Tuhan berperan dalam perjalanan karier Anda?
Tentu sekali, meski tidak dapat diprediksi. Biasanya setelah peristiwa demi peristiwa lewat, saya merenungkan ulang semuanya, saya boleh melihat tangan penyertaan Tuhan di balik semua peristiwa itu.
14. Bagaimana Anda mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diraih selama ini?
Saya ingin memanfaatkan secara optimal waktu dan kemampuan yang dikaruniakan Tuhan. Saya ingin menjadi orang berguna bagi sesama.

15. Apakah sudah bisa dibilang bahwa kita sudah bisa hidup harmonis berdampingan dengan umat agama lain di Indonesia? Walau negara selalu beretorika bahwa kita adalah negara Bhinneka Tunggal Ika, tapi tak dapat dipungkiri, relasi antara umat Kristen dengan umat beragama lain tidak selalu mulus, dibuktikan dengan berbagai berita penutupan, pembakaran, dan penyerangan gereja, sulitnya ijin mendirikan tempat ibadah, penembakan pendeta, pengeboman, gereja, konflik SARA.
Secara umum  ada kerukunan di antara umat beragama. Setidak-tidaknya jauh di lubuk hati masyarakat kita, ada kerinduan untuk hidup harmonis. Penguatan sentimen-sentimen primordial yang membuat umat tersekat-sekat adalah buah kelemahan negara. Pemerintah di negara Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari agama, seperti yang terjadi pada negara sekuler. Akan tetapi, pemerintah demokratis seyogianya tidak memihak salah satu agama atau aliran keagamaan. Negara Indonesia menjadi lemah karena keterlibatan terlalu jauh dalam urusan keagamaan, sehingga tidak bisa tegas menjamin kebebasan beragama yang menjadi hak dasar warga negara demokratis. Jika tidak sanggup memajukan kehidupan beragama, keberadaan departemen agama minimal menjadi wasit yang adil dalam interaksi antaragama. Negara tidak dapat berperan optimal bagi seluruh rakyat, ketika ia mengurus teologi dan kegiatan kegiatan keagamaan. Lihatlah bagaimana urusan izin mendirikan tempat ibadah di Indonesia menjadi rumit tercampur sentimen keagamaan. Mestinya izin membangun tempat untuk menyelenggarakan kegiatan publik sama saja dengan izin membuka suatu usaha. Ketentuan dan peraturannya sama. Sebagai contoh, tidak boleh menambah kemacetan, minimal menyediakan lahan parkir yang sesuai dengan kebutuhan. Ketika pemerintah rese mencampuri izin membangun tempat ibadah, pada saat yang sama banyak orang membuka usaha dengan mudah tidak perlu izin macam-macam.

16. Menurut Anda, opini publik apa yang telah terbentuk tentang citra kekristenan di Indonesia? Apakah cukup baik, kurang atau sangat buruk? Mengapa seolah-olah keberadaan gereja dan umat Kristen dirasakan sebagai ancaman sehingga harus dihambat? Kalau buruk, apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya? Apakah masyarakatnya yang salah ataukah memang ada kesalahan gereja dan umat Kristen dalam “mempublikasikan” diri sehingga mendapatkan respons balik yang negatif?
Kekristenan masih belum bisa melepaskan diri dari citra yang terkait Barat dan Yahudi, meski sejatinya tiada hubungan intrinsik. Sayangnya, umat Kristen sering tidak mau tahu bagaimana orang lain memandang mereka. Sebagian sekolah tinggi teologi telah menyadari hal itu dan mengupayakan teologi kontekstual, namun masih banyak sekolah yang tidak mau tahu dengan upaya itu. Salah satu hal karena upaya kontekstualisasi itu dipandang sebagai kontekstualisme (lebih berat konteks dengan mengorbankan kebenaran firman dan keunikan agama Kristen). Menurut saya, gereja harus terus mengupayakan kontekstualisasi iman Kristen dengan keindonesiaan. Kalau tidak, Kekristenan dilihat sebagai unsur asing.
Ketika pemerintah gagal menyejahterakan rakyat kecil, sebagian umat Islam menaruh harapan kepada agama sebagai harapan terakhir.Begitu juga dengan ancaman degradasi bangsa akibat derasnya sekularisme. Di antara komunitas keagamaan di Indonesia, umat Kristenlah yang paling gigih menolak syariatisasi negara. Maka, sebagian komponen bangsa memandang umat Kristen sebagai penghambat kesejahteraan mereka dan ekspansi pelaksanaan syariat.
Lepas dari pro-kontra syariatisasi dan keteguhan untuk berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus bangsa, umat Kristen juga harus ikut melihat seriusnya dampak negatif sekularisme yang menyusup melalui simbol-simbol modernitas. Ideologi sekularisme dan agama tidak sejalan. Selain itu, musuh bersama bangsa adalah korupsi dan kemiskinan. Jika gereja-gereja di Indonesia bersehati memerangi musuh bersama itu, tiada hambatan menyingkirkan sekat-sekat priomordial untuk bergandeng tangan sebagai sesama anak bangsa. Akan tetapi, jika gereja tidak jelas menyuarakan keadilan dan keberpihakan, konsekuensinya Kekristenan sering disalah mengerti sebagai hanya indekos di Rumah Indonesia. Apa yang tidak kita lakukan sering bicara lebih keras daripada yang kita katakan.
Para teolog Kristen seharusnya bekerja keras untuk mengindonesiakan tradisi-tradisi Kekristenan yang tumbuh di Barat. Tidak cukup hanya mengimpor dan mempropagandakannya begitu saja. Menurut hemat saya, umat Kristen memiliki cukup ruang gerak di Indonesia. Kita perlu lebih meratapi robohnya kesalehan sosial. Isu izin pembangunan rumah ibadah harus diletakkan dalam tataran hak asasi manusia. Ketika kita bicara hak asasi manusia, di situ muncul hak untuk hidup layak, hak untuk mendapat keadilan, dan hak-hak asasi lain. Pertanyaannya tentu, mengapa hak yang satu diributkan dengan menyedot begitu banyak energi, sementara untuk pelanggaran hak-hak lain umat Kristen cenderung tidak peduli?

17. Apakah secara umum sudah ada “public relation” yang baik oleh dan tentang orang Kristen di media?
Public relation adalah soal citra. Saya tidak tahu apakah umat Kristen harus berurusan dengan politik pencitraan. Media tentu saja tidak berkepentingan dengan umat Kristen karena posisi minoritasnya tidak menentukan kehidupan berbangsa. Saya kira yang terpenting bagi gereja adalah karya nyata di tengah bangsa. Selanjutnya, jika media menyoroti orang Kristen, ia disorot bukan terutama sebagai Kristen tetapi sebagai bagian dari bangsa. Untuk itu, gereja perlu melihat bagaimana orang lain melihatnya. Buka mata dan telinga. Jangan merasa sedang melakukan kehendak Tuhan secara vertikal, faktanya aktivitas itu tak bersentuhan dengan yang horizontal.

19. Menurut Anda efektifkah menghadirkan pembicara Kristen dari luar negeri, dalam situasi dimana kekristenan mendapat tekanan?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengundang pembicara asing. Pasti ada sesuatu yang baik dapat kita timba. Yang perlu dicermati adalah apakah gaya religiusitas asing yang tidak cocok dengan budaya Indonesia ikut ditularkan sehingga gaya religiusitas kita tidak lagi berakar dalam keindonesiaan dan membumi.

20. Peran denominasi gereja sangat besar. Kerap masalah meruncing menjadi persaingan. Bagaimana pemikiran Anda untuk mengatasinya?
(Saya menghilangkan kata “yang” dari pertanyaan)
Tampaknya gereja Kristen mengidap spirit individualisme dan perpecahan warisan Reformasi Protestan. Menggereja di era global seperti menyelenggarakan bisnis waralaba (franchise). Egokelompok bersembunyi secara substil di balik propaganda yang mengatasnamakan Kerajaan Allah atau visi dari Tuhan. Padahal, ujung-ujungnya itu hanya menarik simpati umat. Mereka yang terlibat dengan praktik-praktik itu biasanya secara tidak langsung menghakimi komunitas umat lain sebagai tak sevisi, inferior, dan kurang rohani. Padahal, gerakan itu dalam praktiknya tidak jauh berbeda dari kerajaan manusia. Ada elite yang sebenarnya memiliki agenda kepentingan pribadi namun melindungi diri di balik slogan-slogan rohani. Ada pengkultusan tokoh sentral. Ada hulubalang yang memelihara status quo. Ada para pendukung yang merasa beragama dalam kelompok itu sebagai zona aman (comfort zone).
21. Sekarang marak lembaga di aras nasional (PGI, PGPI, PGLII, Baptis, Ortodoks, Bala Keselamatan, juga KWI). Bagaimana umat Kristen harus mencermatinya?
Lembaga-lembaga itu ada dengan karakteristik masing-masing. Untuk berkembang, masing-masing komunitas memerlukan lembaga terkait. Dalam kehidupan berbangsa, seyogianya umat tidak terkotak-kotak melihat dirinya sebagai bagian dari umat Kristiani di Indonesia dan sebagai bagian dari bangsa.

22. Bagaimana seharusnya umat Kristen bersikap akan hadirnya aliran Mormon, Saksi Yehova dan New Age Movement?
Di satu pihak, umat Kristen harus memiliki pemahaman yang benar tentang agama sendiri. Di lain pihak, kita harus sadar bahwa semua aliran itu bisa hidup dan berkembang lantaran gereja punya suatu utang kepada warganya. Keseimbangan dalam kehidupan bergereja dibutuhkan.

23. Bagaimana juga sikap yang harus ditunjukkan terhadap gerakan untuk menggunakan nama Yahwe dalam sebagai ganti Allah?
Adalah hak orang Kristen untuk memiliki keyakinan religius tertentu seperti dalam menjunjung tinggi nama Yahwe, asal tidak mengganggu keutuhan jemaat. Juga jangan sampai itu memunculkan masalah baru dengan menimbulkan kesulitan bagi sebagian besar umat Kristen. Sungguh tidak bijaksana menggandeng umat lain untuk menghadapi sesama saudara seiman. Di Malaysia, problem pemakaian nama Allah ditimbulkan oleh umat lain. Di Indonesia, komunitas Kristen sendirilah yang cari gara-gara. Ini sungguh tidak arif. Selain itu, para pemimpin gereja perlu arif menyikapinya dengan pendekatan pastoral, tidak menyindir mereka dari mimbar, juga tidak mengucilkan mereka.

24. Apa arti keluarga bagi Anda? Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga?
Bagi saya, keluarga amat berarti. Saya menjadi saya sekarang sebagiannya karena kehadiran mereka. Saya bertumbuh bersama keluarga sebagai bagian tak terpisahkan. Saya sering bersyukur untuk itu.

25. Bagaimana Anda memanfaatkan waktu luang bersama keluarga?
Menemani berenang. Mengajak anak ke toko buku. Bepergian ke mal. Bermain bersama di rumah. Tiap malam sebelum tidur, putra saya masih meminta saya membacakan cerita.

26. Bagaimana pengaturan keuangan keluarga Anda? Adakah prinsip yang Anda anut dalam mengatur keuangan keluarga?
Pengeluaran uang seperlunya saja. Tidak masalah mengeluarkan uang banyak untuk sesuatu yang memang mahal. Anak saya diledek temannya miskin sebab tidak punya PS. Kami menerangkan kepadanya begini. Definisi kaya-miskin bukan diukur dari (tidak) memiliki sesuatu. Kita miskin jika tidak mampu berbagi dengan sesama dalam kekurangan mereka. Kebetulan kami tidak memberikannya uang jajan sekolah. Temannya pernah menasihatinya untuk membeli mainan seharga Rp 1.000 di penjual mainan di muka sekolah sebab murah. Kami menjelaskan kepadanya, memang uang sejumlah itu sedikit. Namun, untuk yang sedikit itu pun ia belum bisa mencarinya sendiri. Kami tidak ingin anak kami konsumtif dalam mainan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar