“Sebaik-baik qurun (abad atau generasi) adalah generasi aku
(generasi beliau dan sahabat-sahabatnya), kemudian generasi setelah mereka,
kemudian generasi sesudah mereka.”
”Sebaik-baik kamu
adalah abadku, kemudian generasi sesudah mereka kemudian sesudah mereka”.
Pengertian istilah “Rabbani”
Pada hari kematian Abdullah ibn Abbas r.a, telah berkata
Muhamad ibn Ali ibn Hanafiyah “.. hari ini telah gugur seorang rabbaniyy dari
umat ini.” Ibn Abbas r.a memang terkenal di kalangan sahabat berkat kedalaman
dan keluasan ilmunya. Maka adalah wajar jika ia digelari insan rabbaniyy. Telah
dikatakan pula oleh Ali bin Abu Thalib r.a : “Manusia itu terdiri dari tiga
golongan : alim yang rabbaniyy, penuntut ilmu demi jalan kejayaan, serta orang
hina pengikut segala keburukan.”
Dalam banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk
kepemudaan, tidak lepas dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan
masyarakat, mereka yang mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan
‘mentah-mentah’, tanpa peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’
semacam ini tidak selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak
menimbulkan kesalah-pahaman terhadap inti informasi yang disampaikan.
Ditinjau dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan
bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta
dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun
(rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini,
makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai
dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk
menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun.
Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun
tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi
yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik
mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu
Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan
ilmunya.
Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para
fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu).
Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang
ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani
adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar.
Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan
tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk
berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hanya saja tanggung jawab ini
bertingkat-tingkat, sesuai dengan tingkatan ilmu dan ketaqwaan seseorang.
Untuk bisa mewujudkan genarasi rabbani seutuhnya, agenda
besar ini harus dimulai dari lingkungan belajar yang lingkupnya paling kecil,
yaitu keluarga. Karena itu, Allah perintahkan agar kepala keluarga dengan
serius memperhatikan kondisi keluarganya. Allah berfirman (yang artinya): “Wahai
orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari
neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Allah gandengkan perintah ini dengan gelar iman,
menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan tuntutan dan konsekwensi iman
seseorang.
Dalam ayat di atas ada dua perintah. Perintah pertama,
lindungi diri kalian, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.
Kedua, lindungi keluarga kalian, dengan memerintahkan untuk mengamalkan kewajiban
dan melarang keluarga untuk melanggar larangan. Hal ini sebagaimana dikatakan
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat di atas: “Ajari
mereka dan didik mereka” (Ibn Katsir, 8/167)
Untuk mewujudkan tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga:
1. Ajari mereka untuk bertauhid
Allah berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan
Nabi Ya’qub ketika hendak meninggal dunia (yang artinya): Adakah kamu hadir
ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu)
Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah:
133)
Ayat ini mengajarkan kepada kita satu prinsip penting
tentang penanaman aqidah kepada keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
cerita perjalanan hidup Nabi Ya’qub sangat panjang dan merupakan cerminan akhlak
terpuji. Namun penggalan cerita tentang beliau yang Allah pilih dalam al-Qur’an
adalah kisah wasiatnya kepada putra-putra. Demikian juga yang diajarkan
luqmanul hakim kepada anaknya (lihat surat Luqman 13)
2. Ajari keluarga untuk melaksanakan shalat
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika
mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka
berusia 10 tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
Pada asalnya hukum shalat tidak wajib bagi anak-anak. Akan
tetapi, ketika ada seorang anak meninggalkan shalat, sementara orang
tuanya tidak memerintahkannya atau memaksanya maka si anak tidak berdosa, namun
orang tuanya telah melanggar kewajiban. Karena dirinya wajib untuk
memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat. (lih. Penjelasan Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari, 9/348). Dan faedah lain, bahwa perintah tersebut untuk
membiasakan anak mengerjakan sholat
3. Memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat
Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak
berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas radliallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Gantunglah cemeti di
tempat yang bisa dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik mereka. (HR.
Thabrani dalam al-Ausath 10671 dan dihasankan oleh al-Albani)
4. Pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak
perempuan
Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa
antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan ini dimulai
ketika mereka menginjak usia 10 tahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Pisahkan tempat tidur diantara mereka (HR. Abu Daud 495 dan
dishahihkan al-Albani)
5. Memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga
Banyak sekali do’a yang Allah ajarkan dalam al-Qur’an, yang
isinya memohon kebaikan bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam banyak mengajarkan hal yang sama dalam hadisnya. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Do’a Nabi Ibrahim untuk keturunannya
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam termasuk nabi yang do’anya
banyak Allah sebutkan dalam al-Qur’an. Dan banyak do’a beliau berisi kebaikan
untuk dirinya dan keturunanya. Ini menunjukkan bahwa do’a Nabi Ibrahim adalah
do’a yang istimewa di sisi Allah. Diantara do’a beliau: “Jauhkanlah aku dan
anak-anakku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35). Beliau juga berdo’a: “Ya
Allah, jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan shalat. Ya
Allah, kabulkanlah do’a.” (QS. Ibrahim: 40)
Lain dari itu adalah do’a Nabi Nuh ‘alaihis salam. Beliau
memohon kepada Allah agar setiap orang mukmin yang masuk rumahnya diampuni oleh
Allah. Ini akan memberi kesempatan agar keluarga kita banyak mendapat ampunan
dari Allah. Nabi Nuh berdo’a: “Yaa Allah, ampunilah diriku, kedua orang tuaku.
Ampunilah setiap orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman, dan kepada
seluruh orang mukmin laki-laki maupun wanita.” (QS. Nuh: 28)
Allah juga mengajarkan, diantara doa orang mukmin adalah, “Ya
Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74)
Di dalam al Taalim Imam Al Banna telah menegaskan bahwa umat
mesti membentuk diri, agar menjadi insan kamil yang mempunyai aqidah sejahtera,
ibadah yang sahih, akhlak yang mantap, pikiran yang berasaskan ilmu, tubuh yang
kuat, hidup yang berdikari, diri yang berjihad, masa yang dihargai, tugas yang
tersusun dan sentiasa memberi manfaat kepada orang lain. (Risalat al-Taalim,
rukun al-Amal).
As-Syahid Sayyid Quthb dalam rumusannya mengenai generasi rabbani (dengan merujuk pada generasi sahabat era Rasulullah SAW ), mengemukakan tiga ciri penting dari generasi awal Islam itu, seperti : selalu membersihkan diri dari segala unsur jahiliyyah, sumber rujukan mereka yang utama hanyalah Al Qur'an Nur Karim, dan apa yang dipelajari semata-mata hanyalah untuk diamalkan.
Kelahiran generasi rabbani menjadi mungkin, jika umat tetap berpegang pada Al Qur'an dan Al Hadits. Diperlukan pula banyaknya murabi yang mempunyai keluasan dan kedalaman ilmu. Disamping itu, generasi rabbani akan terlahir jika banyak keluarga telah mencapai derajar sakinah, institusi pendidikan, masyarakat serta negara berkomitmen penuh atas tegaknya dakwah Islamiyyah. Usaha melahirkan kembali generasi ini di akhir jaman, merupakan ikhtiar suci yang memerlukan pengorbanan diri, waktu dan harta.
Para ulama menyebutnya sebegai generasi yang memiliki
ciri-ciri istimewa sebagai berikut, yaitu 1) ‘Aalim, yaitu orang yang mendalam
ilmunya; 2) Faqieh, yaitu orang yang benar dan mendalam pemahaman agamanya; 3) Haliem,
yaitu orang yang sabar dan santun; 4) Hakiem, yaitu orang yang memiliki sikap
bijaksana; 5)‘Aabid, yaitu orang yang ahli ibadah, dan 6)Muttaqie, yaitu orang
yang ahli taqwa. Apa dasar istilah ini, mari kita tengok dalilnya dalam
QS Ali Imran 3:79: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi
(Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (Rabbani ialah
orang yang Sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.), Karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Coba kita
pelajari pendapat As Syahid Syed Qutub dalam kitabnya yang berjudul “Ma’aalimun
fit Thaariq” (Petunjuk sepanjang jalan) yang menyatakan bahwa: ”Dakwah ini
pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat, semoga
Allah meridhoi mereka, yaitu suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri
dalam seluruh sejarah umat manusia. Lalu dakwah ini tidak pernah menghasilkan
jenis yang seperti ini sekali lagi. Memang terdapat orang-orang itu disepanjang
sejarah, tetapi belum pernah terjadi sekalipun juga bahwa orang-orang seperti
itu berkumpul dalam jumlah yang sedemikian banyaknya, pada suatu tempat, sebagaimana
yang pernah terjadi pada periode pertama dari kehidupan dakwah ini”. Pernyataan
As Syahid Syed Qutub tersebut menjadikan motivasi bagi kita untuk mengetahui
rahasia realitas dan keistimewaan Generasi Rabbani ini, serta bagaimana upaya
kita membentuknya.
Wahai para pemuda
muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah
kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas
langit dan bumi?
Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya.
Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya.
Bila menilik Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 54 dapat ditarik
kesimpulan bahwa karakter dari generasi Rabbani meliputi :
1. Yuhibbuhum wa yuhibbuunahu yaitu merka yang mencintai
Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi laranganNya, tidak mau
terhambatdalam kebobrokan dan kenakalan, mempunyai hati yang bersih dan
Allahpun mencintai mereka.
2. Adzillatin 'alal mu'minin a'iazzatin 'alal kafirin yaitu
rendah hati terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir.
3. Jihad fisabilillah yaitu berjuang dijalan Allah membela
kebenaran dan melawan kedzaliman. Jihad tidak selalu diartikan perang dimedan
laga, tetapi lebih dimaknai perang melawan hawa nafsu dan memperjuangkan ummat
dalam hal kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan.
4. La yakhofuna laumata laa aimin. Yaitu tidak khawatir atau
takut pada celaan orang-orang yang suka mencela. Kita mesti sadar bahwa itu
merupakan suatu resiko dalam berjuang.
Sosok generasi rabbani sebagaimana digambarkan diatas
merupakan sosok muslim yang ideal. Bangsa ini membutuhkan generasi rabbani
sebagai cikal bakal dan modal utama membangun bangsa yang "baldatun
tayibatun wa rabbun ghofur" dan tegaknya Dinul Islam di bumi Pertiwi
Indonesia.
Dari teadan diatas jelas terlihat bahwa dalam mempersiapkan
generasi diawali dari keluarga. Lingkungan keluarga sebagai tempat pertama bagi
pertumbuhan anak menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi watak, kebiasaan
dan perkembangan pshikologinya. Keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah
merupakan lingkungan yang baik dalam mambantuk generasi Rabbani.
Demikian, semoga Allah membimbing kita
seluruh kaum muslimin….Amin
Lilis yuni darwati/11094931/11.5B.24