Jumat, 30 Desember 2011

Generasi Rabbani


“Sebaik-baik qurun (abad atau generasi) adalah generasi aku (generasi beliau dan sahabat-sahabatnya), kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.”
 ”Sebaik-baik kamu adalah abadku, kemudian generasi sesudah mereka kemudian sesudah mereka”.

Pengertian istilah “Rabbani”
Pada hari kematian Abdullah ibn Abbas r.a, telah berkata Muhamad ibn Ali ibn Hanafiyah “.. hari ini telah gugur seorang rabbaniyy dari umat ini.” Ibn Abbas r.a memang terkenal di kalangan sahabat berkat kedalaman dan keluasan ilmunya. Maka adalah wajar jika ia digelari insan rabbaniyy. Telah dikatakan pula oleh Ali bin Abu Thalib r.a : “Manusia itu terdiri dari tiga golongan : alim yang rabbaniyy, penuntut ilmu demi jalan kejayaan, serta orang hina pengikut segala keburukan.”

Dalam banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk kepemudaan, tidak lepas dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan masyarakat, mereka yang mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan ‘mentah-mentah’, tanpa peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’ semacam ini tidak selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak menimbulkan kesalah-pahaman terhadap inti informasi yang disampaikan.

Ditinjau dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun.

Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya.

Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu).
Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hanya saja tanggung jawab ini bertingkat-tingkat, sesuai dengan tingkatan ilmu dan ketaqwaan seseorang.

Untuk bisa mewujudkan genarasi rabbani seutuhnya, agenda besar ini harus dimulai dari lingkungan belajar yang lingkupnya paling kecil, yaitu keluarga. Karena itu, Allah perintahkan agar kepala keluarga dengan serius memperhatikan kondisi keluarganya. Allah berfirman (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Allah gandengkan perintah ini dengan gelar iman, menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan tuntutan dan konsekwensi iman seseorang.

Dalam ayat di atas ada dua perintah. Perintah pertama, lindungi diri kalian, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Kedua, lindungi keluarga kalian, dengan memerintahkan untuk mengamalkan kewajiban dan melarang keluarga untuk melanggar larangan. Hal ini sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat di atas: “Ajari mereka dan didik mereka” (Ibn Katsir, 8/167)

Untuk mewujudkan tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga:
1. Ajari mereka untuk bertauhid
Allah berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub ketika hendak meninggal dunia (yang artinya): Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah: 133)
Ayat ini mengajarkan kepada kita satu prinsip penting tentang penanaman aqidah kepada keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cerita perjalanan hidup Nabi Ya’qub sangat panjang dan merupakan cerminan akhlak terpuji. Namun penggalan cerita tentang beliau yang Allah pilih dalam al-Qur’an adalah kisah wasiatnya kepada putra-putra. Demikian juga yang diajarkan luqmanul hakim kepada anaknya (lihat surat Luqman 13)
2. Ajari keluarga untuk melaksanakan shalat
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10 tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
Pada asalnya hukum shalat tidak wajib bagi anak-anak. Akan tetapi, ketika ada seorang anak  meninggalkan shalat, sementara orang tuanya tidak memerintahkannya atau memaksanya maka si anak tidak berdosa, namun orang tuanya telah melanggar kewajiban. Karena dirinya wajib untuk memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat. (lih. Penjelasan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, 9/348). Dan faedah lain, bahwa perintah tersebut untuk membiasakan anak mengerjakan sholat
3. Memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat
Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Gantunglah cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik mereka. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 10671 dan dihasankan oleh al-Albani)
4. Pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan
Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan ini dimulai ketika mereka menginjak usia 10 tahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Pisahkan tempat tidur diantara mereka (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
5. Memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga
Banyak sekali do’a yang Allah ajarkan dalam al-Qur’an, yang isinya memohon kebaikan bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengajarkan hal yang sama dalam hadisnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Do’a Nabi Ibrahim untuk keturunannya
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam termasuk nabi yang do’anya banyak Allah sebutkan dalam al-Qur’an. Dan banyak do’a beliau berisi kebaikan untuk dirinya dan keturunanya. Ini menunjukkan bahwa do’a Nabi Ibrahim adalah do’a yang istimewa di sisi Allah. Diantara do’a beliau: “Jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35). Beliau juga berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan shalat. Ya Allah, kabulkanlah do’a.” (QS. Ibrahim: 40)
Lain dari itu adalah do’a Nabi Nuh ‘alaihis salam. Beliau memohon kepada Allah agar setiap orang mukmin yang masuk rumahnya diampuni oleh Allah. Ini akan memberi kesempatan agar keluarga kita banyak mendapat ampunan dari Allah. Nabi Nuh berdo’a: “Yaa Allah, ampunilah diriku, kedua orang tuaku. Ampunilah setiap orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman, dan kepada seluruh orang mukmin laki-laki maupun wanita.” (QS. Nuh: 28)
Allah juga mengajarkan, diantara doa orang mukmin adalah, “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74)
Di dalam al Taalim Imam Al Banna telah menegaskan bahwa umat mesti membentuk diri, agar menjadi insan kamil yang mempunyai aqidah sejahtera, ibadah yang sahih, akhlak yang mantap, pikiran yang berasaskan ilmu, tubuh yang kuat, hidup yang berdikari, diri yang berjihad, masa yang dihargai, tugas yang tersusun dan sentiasa memberi manfaat kepada orang lain. (Risalat al-Taalim, rukun al-Amal).

As-Syahid Sayyid Quthb dalam rumusannya mengenai generasi rabbani (dengan merujuk pada generasi sahabat era Rasulullah SAW ), mengemukakan tiga ciri penting dari generasi awal Islam itu, seperti : selalu membersihkan diri dari segala unsur jahiliyyah, sumber rujukan mereka yang utama hanyalah Al Qur'an Nur Karim, dan apa yang dipelajari semata-mata hanyalah untuk diamalkan.

Kelahiran generasi rabbani menjadi mungkin, jika umat tetap berpegang pada Al Qur'an dan Al Hadits. Diperlukan pula banyaknya murabi yang mempunyai keluasan dan kedalaman ilmu. Disamping itu, generasi rabbani akan terlahir jika banyak keluarga telah mencapai derajar sakinah, institusi pendidikan, masyarakat serta negara berkomitmen penuh atas tegaknya dakwah Islamiyyah. Usaha melahirkan kembali generasi ini di akhir jaman, merupakan ikhtiar suci yang memerlukan pengorbanan diri, waktu dan harta.

Para ulama menyebutnya sebegai generasi yang memiliki ciri-ciri istimewa sebagai berikut, yaitu 1) ‘Aalim, yaitu orang yang mendalam ilmunya; 2) Faqieh, yaitu orang yang benar dan mendalam pemahaman agamanya; 3) Haliem, yaitu orang yang sabar dan santun; 4) Hakiem, yaitu orang yang memiliki sikap bijaksana; 5)‘Aabid, yaitu orang yang ahli ibadah, dan 6)Muttaqie, yaitu orang yang ahli taqwa.  Apa dasar istilah ini, mari kita tengok dalilnya dalam QS Ali Imran 3:79: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (Rabbani ialah orang yang Sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.), Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Coba kita pelajari pendapat As Syahid Syed Qutub dalam kitabnya yang berjudul “Ma’aalimun fit Thaariq” (Petunjuk sepanjang jalan) yang menyatakan bahwa: ”Dakwah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, yaitu suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri dalam seluruh sejarah umat manusia. Lalu dakwah ini tidak pernah menghasilkan jenis yang seperti ini sekali lagi. Memang terdapat orang-orang itu disepanjang sejarah, tetapi belum pernah terjadi sekalipun juga bahwa orang-orang seperti itu berkumpul dalam jumlah yang sedemikian banyaknya, pada suatu tempat, sebagaimana yang pernah terjadi pada periode pertama dari kehidupan dakwah ini”. Pernyataan As Syahid Syed Qutub tersebut menjadikan motivasi bagi kita untuk mengetahui rahasia realitas dan keistimewaan Generasi Rabbani ini, serta bagaimana upaya kita membentuknya. 

 Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya.

Bila menilik Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 54 dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter dari generasi Rabbani meliputi :
1. Yuhibbuhum wa yuhibbuunahu yaitu merka yang mencintai Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi laranganNya, tidak mau terhambatdalam kebobrokan dan kenakalan, mempunyai hati yang bersih dan Allahpun mencintai mereka.
2. Adzillatin 'alal mu'minin a'iazzatin 'alal kafirin yaitu rendah hati terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir.
3. Jihad fisabilillah yaitu berjuang dijalan Allah membela kebenaran dan melawan kedzaliman. Jihad tidak selalu diartikan perang dimedan laga, tetapi lebih dimaknai perang melawan hawa nafsu dan memperjuangkan ummat dalam hal kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan.
4. La yakhofuna laumata laa aimin. Yaitu tidak khawatir atau takut pada celaan orang-orang yang suka mencela. Kita mesti sadar bahwa itu merupakan suatu resiko dalam berjuang.
Sosok generasi rabbani sebagaimana digambarkan diatas merupakan sosok muslim yang ideal. Bangsa ini membutuhkan generasi rabbani sebagai cikal bakal dan modal utama membangun bangsa yang "baldatun tayibatun wa rabbun ghofur" dan tegaknya Dinul Islam di bumi Pertiwi Indonesia.

Dari teadan diatas jelas terlihat bahwa dalam mempersiapkan generasi diawali dari keluarga. Lingkungan keluarga sebagai tempat pertama bagi pertumbuhan anak menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi watak, kebiasaan dan perkembangan pshikologinya. Keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah merupakan lingkungan yang baik dalam mambantuk generasi Rabbani.

Demikian, semoga Allah membimbing kita seluruh kaum muslimin….Amin


 Lilis yuni darwati/11094931/11.5B.24

Riba dalam Pandangan Islam

*
  
Secara harfiah riba mengandung pengertian lebih, bertambah,   mengembang, atau membesar. Secara Syara berarti tambahan dalam pembayaran hutang sebagai imbalan jangka waktu yang terpakai selama utang belum terbayar.Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis reel.
*      Jenis-jenis riba terbagi menjadi empat macam;
(1) riba nasiiah (riba jahiliyyah)
(2) riba fadlal                                                                                
(3) riba qaradl
(4) riba yadd.
Riba Nasii`ah
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk      dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang atau sebagai tambahan hutang baru.
Contoh : si A meminjamkan uang sebanyak 70 juta kepada si B dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2012 dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan, maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
     ” Riba itu dalam nasi’ah” [HR Muslim dari Ibnu Abbas]
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).
Riba Fadlal.
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan” (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Riba al-Yadd
Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab) إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Riba Qardl
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.
*      Hukum Riba
Riba hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma umat Islam:
∞ “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
∞ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
∞ “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).
(Dyah nur vitasari ^11.5b.24^11094950)

Islam dan Masalah Sosial Kemasyarakatan

Setiap aktivitas menurut saya berpotensi menghadirkan permasalahan sosial,maka daripada itu dibutuhkan adanya pencegahan terhadap kemunculan permasalahan sosial. Masalah sosial adalah suatu kondisi yang muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita kehidupan yang ada.Apabila sampai terjadi bentrokan antara unsur unsur yang ada maka dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Ada 4 faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan sosial,antara lain : faktor ekonomi,faktor budaya,faktor biologis, dan faktor psikologis, dimana faktor faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
ISLAM disini berperan sebagai jalan keluar bagi seluruh permasalahan duniawi..karena islam adalah agama yang sangat  sempurna,di dalamnya terdapat  panduan menyeluruh  bagi semua permasalahan kehidupan manusia di dunia ini.
Sebagai penjelasan saya akan mengambil contoh tentang budaya masyarakat indonesia untuk mengadakan pagelaran  musik dangdut.pagelaran dangdut baru baru ini selalu dilengkapi dengan porno aksi oleh para biduan dangdut.
Berbicara masalah porno aksi,maka sebenarnya ini adalah pemicu maslah sosial.untuk di indonesia sendiri,pelanggaran porno aksi ini masih menjadi bahan perdebatan,karena hingga saat ini masalah tersebut tidak kunjung mendapat kepastian hukum,tetapi walaupun sanksi dari norma hukum belum nampak jelas namun sanksi dari berbagai norma telah menyalahkan aktivitas tersebut,diantaranya norma kesopanan,norma adat dan tentu saja norma agama(ISLAM).
dalam islam sudah jelas hal tersebut dilarang keras,apalagi untuk porno aksi,untuk memperlihatkan aurat kepada bukan muhrim pun sudah dosa. bahkan dibeberapa daerah anggota FPI(front pembela islam) telah mencekal banyak artis dangdut ibukota yang dianggap bisa merendahkan moral bangsa.. hal ini saya kira cukup efektif, bisa dibayangkan apabila seluruh daerah di indonesia melarang kegiatan seperti ini maka bisa dipastikan tidak akan lagi ada pertunjukan porno aksi.
(ARIF DWI MUGIANTO/12.2B.24/12111487)

Riba menurut ISLAM

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinzaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.

Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
  • Riba Qardh
    • Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
  • Riba Jahiliyyah
    • Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
  • Riba Fadhl
    • Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
  • Riba Nasi’ah
    • Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

    (NOVITASARI/12111269/12.2B.24)

    Membangun Kesalehan Sosial

    Setiap manusia yang diciptakan ALLAH S.W.T sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan sesamanya dalam melangsungkan hidupnya.Seorang yang menyebut dirinya mandiri dan tak membutuhkan orang lain adalah hal yang tidak mungkin,karena kenyataannya tak ada satu orangpun yang lepas dari sesamanya.Seperti makan nasi adalah dari hasil panen petani,bukan dirinya yang menanam sendiri sampai akhirnya memasakpun sendiri sampai jadi nasi,melainkan dengan bantuan petani.Contoh lain seorang yang profesinya sebagai pegawai kantoran tidak mungkin memakai pakaian yang mereka kenakan dibuatnya sendiri dengan memakai bahan baku pakaian tersebut (benang) juga sendiri.So,that's impossible.

               
    Untuk itu diantara setiap manusia harus terjalin kerukunan dengan Membangun Kesalehan Sosial.Dimulai dari yang dekat dengan sadar akan hadirnya tetangga di kehidupan kita.Dengan memperlakukan tetangga dengan baik,karena hanya tetangga kita yang pertama tahu keadaan yang sedang terjadi pada kita,bukan saudara yang tempat tinggal nya jauh dari kita.Ini berarti bukan melarang berbuat baik pada saudara,tapi dahulukan orang yang lebih dekat tempat tinggalnya dengan kita (tetangga).Kalau ada kebahagiaan berupa rezeki maka berbagilah dengan mereka,karena mereka adalah yang pertama tahu setelah keluarga kita bahwa kita punya makanan.Kalau kita tertimpa musibah yakinlah bahwa tetanggalah yang pertama kali menolong kita karena rumah mereka paling dekat dengan rumah kita.

    Berdasarkan hadist sahih mengenai anjuran berbuat baik kepada tetangga yang diriwayatkan Abu Khurairah r.a bahwa Nabi S.A.W bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat,maka hendaklah dia berbuat baik kepada tatangganya....”.

    Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Ahmad “Silaturahmi,berakhlak baik dan baik dalam bertetangga dapat meramaikan perkampungan dan dapat menambah umur”. Dalam Riwayat lain Thabrani “Apabila kalian menginginkan disayangi oleh Allah dan Rasulnya maka sampaikanlah amanat,dan jujurlah dalam berbicara serta berbuat baiklah kepada orang yg menjadi tetangga kalian”. Saya hanya menguraikan salah satu contoh dalam membangun Kesalehan sosial kepada tetangga.Disamping berbuat baik kepada tetangga masih banyak cara dan contoh dalam membangun kesalehan sosial dimanapun anda berada dan kapanpun orang membutuhkan anda.Siapkah anda membangunnya dari sekarang?.Wallahu’alam bishawab....
    (DEDE AAN KURNIA/12.2b.24/12110941)
                                                                                  

    Membangun Rumah Tangga yang SAMARA


    Kebahagiaan adalah target utama dalam membina rumah tangga. Bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Apa gunanya menikah dan membangun keluarga, tetapi yang ada hanyalah terasa sesak dada, sengsara penuh derita, dan diri menjadi terpuruk. Justru fitrah manusia itu sesuai dengan fitrah pernikahan yaitu sebagai muara kebahagiaan dan ketenangan hidup.

    Siapapun yang membangun rumah tangga, kaya ataupun miskin, pejabat maupun rakyat, gubernur atau abang bajigur, semuanya adalah berangkat terhadap satu tujuan yaitu mencapai kehidupan yang layak dan membahagiakan.

    Bagi kita keluarga muslim, selayaknya tujuan hidup difokuskan pada tujuan ukhrawi (akhirat) karena tiada manfaat jika di dunia kita senang tapi di akhirat malah sengsara. Baiknya, di dunia kita senang dan bahagia, di akhirat kita bersuka cita meraih surga.Oleh karena itu, mari sama-sama berjuang membangun keluarga SAMARA (sakinah, mawaddah, rahmah) sepanjang masa.
    Kiat-kiatnya adalah :
    (1) menjadi keluarga berilmu,
    (2) menjadi keluarga yang menyesuaikan amal dengan ilmu,
    (3) menjadi keluarga yang saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, dan
    (4) menjadi keluarga yang senantiasa syukur dan sabar menyikapi kehidupan.

    (Ujang Rustandi/12110433/12.2B.24)

    Perekonomian Islam

    Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, iaitu:-
    1.Mekanisme Ekonomi
    Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktiviti ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk). Berbagai cara dalam mekanisme ekonomi ini, antara lain :
    Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu (misalnya, bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan)
    Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi (misalnya, dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya).
    Larangan menimbun harta benda (wang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi pada ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat peredaran kerana tidak terjadi perputaran harta.
    Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu saja misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan.
    Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat menjamin pasaran.
    Larangan judi, riba, rasuah, pemberian barang dan hadiah kepada penguasa. Semua ini akan mengumpulkan kekayaan pada pihak yang kuat semata (seperti penguasa atau koperat).
    Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang galian, minyak, elektrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
    2.Mekanisme Non-Ekonomi
    Mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktiviti ekonomi yang produktif, melainkan melalui aktiviti non-produktif, misalnya pemberian (hibah, sedekah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi. Iaitu untuk mengatasi peredaran kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata.
    Mekanisme non-ekonomi diperlukan baik kerana adanya sebab-sebab alamiah maupun non-alamiah. Sebab alamiah misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan ekonomi dan terhambatnya edaran kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, edaran kekayaan boleh tidak berjalan kerana orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang miskin terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjutan, boleh menyebabkan munculnya masalah sosial seperti jenayah (curi, rompak), rogol (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi sosial.
    Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan kerana adanya sebab-sebab non-alamiah, iaitu adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi ini jika dibiarkan akan boleh menimbulkan ketimpangan edaran kekayaan. Bila penyimpangan terjadi, negara wajib menghilangkannya. Misalnya jika terjadi monopoli, hambatan masuk, baik administratif maupun non-adminitratif-- dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan oleh negara.
    Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Penedaran harta dengan mekanisme non-ekonomi antara lain adalah :
    Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
    Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
    Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
    Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
    Demikianlah gambaran sekilas tentang asas-asas sistem ekonomi Islam. Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian seluruh aspek yang dikemukakan di atas perlu dilakukan.
    PEREKONOMIAN ISLAM .
    Perekonomian Islam ialah ekonomi menurut undang-undang Islam. Adanya dua paradigma untuk memahami Perekonomian Islam, dengan satunya menganggap rangka politik Islam (iaitu Khilafah), dan yang lain itu menganggap rangka politik bukan Islam yang melahirkan suatu paradigma yang bertujuan untuk menyepadukan sesetengah rukun Islam yang terkenal ke dalam sebuah rangka ekonomi sekular.
    Paradigma pertama bertujuan untuk mentakrifkan semula masalah ekonomi sebagai suatu masalah pengagihan sumber untuk mencapai:
    keperluan-keperluan asas dan mewah para orang perseorangan di dalam masyarakat;
    membina pasaran etika yang mempunyai persaingan kerjasama;
    memberikan ganjaran kepada penyerta-penyerta kerana terdedah kepada risiko dan/atau liabiliti;
    membahagikan harta-harta secara adil antara kegunaan awam dan kegunaan peribadi; dan
    negara memainkan peranan yang jelas terhadap pengawasan, percukaian, pengurusan harta awam dan memastikan peredaran kekayaan.
    Gerakan-gerakan Islam yang menyeru agar politik dibaharui umumnya akan mencadangkan paradigma ini untuk menjelaskan bagaimana mereka akan memperkenalkan pembaharuan ekonomi. Bagaimanapun, paradigma kedua hanya mencadangkan dua hukum utama, iaitu:
    faedah tidak boleh dikenakan pada pinjaman;
    pelaburan harus menepati tanggungjawab sosial.
    Perbezaan utama dari segi kewangan ialah peraturan tiada faedah kerana paradigma pelaburan Islam yang menepati tanggungjawab sosial tidak amat berbeza dengan apa yang diamalkan oleh agama-agama yang lain. Dalam percubaannya untuk melarang faedah, ahli-ahli ekonomi Islam berharap untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih bersifat Islam. Bagaimanapun, gerakan-gerakan liberal dalam agama Islam mungkin akan menafikan keperluan untuk perkara ini kerana mereka umumnya melihat Islam sebagai secocok dengan institusi-institusi dan undang-undang sekular modern.
    (CHINDY NURHAYATI/12110626/12.2B.24)