A.
Dasar Memilih Calon Pemimpin Rumah Tangga
Muslimah memilih calon suami dengan bimbingan ideology
islam, bahwa qowwam (pemimpin) rumah tangga bukanlah sosok muslim abangan
pemilik split personality atau kalangan oportunis yang selalu bertimbang
keuntungan dan kenikmatan fisik dalam memutuskan persoalan. Kepemimpinan rumah
tangga yang dipegang oleh laki-laki model ini tentu tidak akan pernah
mengantarkan rumah tangga menuju tho’at kepada Allah swt. Muslimah tak
terpedaya oleh ketampanan atau penampakan fisik maupun kekayaan materi
seseorang.
Calon qowwam dalam rumah tangga ideologis harus benar-benar
siap memimpin rumah tangganya dengan landasan ideologi islam, meletakkan setiap
keputusan-keputusannya sebagai ujung dari pertimbangan prioritas ideologis.
Suami sebagai qowwam tidak menjadikan rumah hanya sebagai tempat istirahat dan
tidur setelah seharian berkiprah di luar rumah. Keteladanan diperlukan untuk
membantu proses pembinaan istri dan anak-anaknya. Suami yang memiliki kesadaran
ideologis selalu berpikir serius agar setiap keputusannya lahir bukan dari
pertimbangan selera semata. Ia selalu menimbang dan mengukur amal dengan
standar ideology islam, tidak terjebak menukar yang wajib dengan yang mubah
atau bahkan dengan yang haram.
B. Dasar Memilih Calon Istri
Istri dalam rumah tangga ideologis bukan koleksi boneka yang
sekedar memenuhi selera, melainkan bagian dari pencetak generasi, sehingga
memilihnya dengan mengutamakan pertimbangan kesiapan istri
mendampingin-mengawal aktir perjuangan sang suami dalam rangka melanjutkan
kehidupan islam. Tidak layak bangunan rumah tangga ideologis diawali dengan
memilih istri atas dasar ketertarikan kepada kemilau hitam rambutnya, tinggi
semampai bodinya atau melimpah ruah hartanya.Istri dalam rumah tangga ideologis
adalah sosok muslimah berwawasan dan berdasarkan ideologis, siap mengelola anak
dan isi rumah sesuai dengan syari’ah islam.
Kewibawaan yang terpancar dari kesadaran ini memudahkan seorang istri dan ibu memprogram anak-anak untuk menjadi pejuang, bukan sebaliknya seperti sering terjadi sang ibu terprogram oleh organism anak-anak.
Seorang ibu yang memiliki kesadaran
ideologis membina anak-anak sepanjang waktu, bukan terikat dengan kurikulum
sekian jam sehari atau momen tertentu saja. Kesadaran ini mendorong untuk mengendalikan
ucapan dan perbuatan terutama dihadapan anak-anak, karena setiap langkah polah
ibu adalah materi pembinaan langsung maupun tidak langsung.
Muslimah sebagai istri dalam rumah tangga ideologis selalu menentramkan suami dalam ketaatannya kepada Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa suasana rumah berpengaruh terhadap kinerja suami dalam menjalankan setiap kewajibannya. Pada saat suami menjalankan amal dakwah misalnya, tidak akan optimal ketika sang isteri membebaninya dengan kekacauan rumah,seperti perabot pecah lantaran kenakalan anak-anak yang tidak wajar melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang, atau keuangan rumah tangga habis sebelum waktunya tanpa jelas kemana larinya lantaran sang isteri ceroboh.
C. Pernikahan Awal Kehidupan Persahabatan
Satu-satunya cara mengawali pembentukan rumah tangga
ideologis yang didasarkan pada syari’at islam adalah dengan pernikahan,
didahului khitbah. Cara lain yang lazim ditempuh muda-mudi era kapitalis saat
ini, pacaran, apapun alasannya adalah menyalahi aturan Allah SWT. Tidak dapat
dipungkiri aktivitas pacaran yang paling minimal saja mungkin saling pandang
dengan pandangan tidak bisa, telah melanggar aturan menahan pandangan yakni
pandangan kepada isteri atau suami dan pandangan kepada “aurot”. Apalagi dengan
cara pergaulan amburadul saat ini, dengan gencarnya propaganda kebebasan sex,
free love, zina menjadi biasa. Padahal Allah melarang mendekatinya. Hukum
syara’ telah mengatur perbuatan manuasia dengan sumber-sumber yang pasti, yakni
Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas.
Pernikahan merupakan bagian amal manusia, maka tata
aturannya telah ada dalam islam, sejak mengawali prosesnya dengan khitbah
(meminang) hingga akad nikah sesudahnya. Anjuran menikah adalah bagian dari
peraturan islam atas pemenuhan naluri berselera hasrat kepada lain jenis
(ghorizah nau’) dengan tujuan penciptaan naluri ini agar manusia tidak punah
(libaqoin nau’). Anjuran menikah tercantum dalam bentuk maupun hadits,
diantaranya firman Allah :
“Nikahilah
oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat…” (Q.S.
An-Nisaa : 3)
Adapun hadits anjuran menikah diantaranya dari ibnu Mas’ud
ra berkata bahwa Rasulullah bersabda : “wahai para pemuda, siapa saja diantara
kalian yang telah mampu memikul beban, hendaklah ia segera menikah, karena hal
itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya, siapa saja
yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena hal itu dapat menjadi perisai
baginya”.
Dalam kehidupan islam pernikahan adalah bagian dari ibadah,
bukan pemuasan seksual. Islam mengatur pernikahan secara jelas, tidak samara.
Membentuk rumah tangga ideologis diawali dengan niat yang tulus semenjak
memilih pasangan hingga meginjak prosesi pernikahan, yaitu niat untuk
menyempurnakan ketaatan kepada Allah SWT. Pemeliharaan niat sangat penting agar
rumah tangga ideologis tidak berbelok dari tujuan yang dikehendaki. Banyak
terjadi keterbelokan sebuah rumah tangga dari rel ideology islam yang telah
dicanangkan sejak awal pernikahan. Kinerja pasangan suami isteri (pasutri)
untuk berkontribusi dalam memperjuangkan ideology islam yang semestinya
meningkat dengan adanya persahabatan dalam rumah tangga, justru menurun bahkan
menghilang.
Pemilihan pasangan yang tepat sebelum menikah akan
memudahkan adaptasi dan pengaturan biduk rumah tangga sesuai bimbingan ideologi
islam. Islam memerintahkan memilih pasangan dengan pertimbangan dien (agama),
sabda Rasulullah SAW : “wahai itu dinikahi karena empat aspek yaitu karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya; Maka
pilihlah wanita karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung”.
Kasih sayang pasangan edielogis adalah kasih sayang sejati,
yakni tidak membiarkan pasangannya tersentuh api neraka seujung rambutpun.
Sehingga dalam perjalanan mengayuh biduk rumah tangga, keduanya saling
muhasabah (intropeksi) kalau-kalau terjadi penelantaran kewajiban atu
ketidaksempurnaan dalam pengorbanan di jalan Allah. Persahabatan suami isteri
dalam rumah tangga ideologis melahirkan kerja sinergis dalam perjuangan
mengembah ideologi. Kesadaran bahwa setiap perjuangan menurut pengorbanan akan
mempermudah pasangannya dalam menyempurnakan kewajiban. Tuntutan pengorbanan
dapat berupa harta, tenaga, pikiran bahkan jiwa/nyawa. Inilah tabiat perjuangan
dimanapun da kapanpun. Maka hal istimewa apabila sewaktu-waktu suami atau
isteri dalam rumah tangga ideologis harus mengorbankan keinginannya untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih cukup.
Setiap manusia tidak ma’shum (terbebas dari kesalahan), kecuali para nabi dan rasul. Oleh karena itu tidak mungkin seorang berharap sosok pasangan sempurna tanpa kelemahan. Kelebihan sesorang selalu ada, demikian pula kelemahannya, sekalipun potensi dasar kemanusiaan sama, yakni memiliki naluri, kebutuhan jasmani dan potensi akal untuk berfikir menentukan jalan mana yang akan ditempuh dalam hidupnya. Kelemahan bukanlah dasar untuk menentukan batas kinerja untuk menelantarkan kewajiban. Sebaliknya, kelemahan mesti disiasati bersama agar masing-masing pasangan dalam rumah tangga ideologis dapat menyempurnakan berbagai kewajiban.
Kreativitas dalam memecahkan hambatan kelemahan secara bersama merupakan bagian penting dalam persahabatan. Hal demikian akan berujung pada sinergi yang sanggup mengatasi kendala menjadi potensi sekaligus meramu potensi bersama yang membuahkan produktivitas melebihi kemampuannya sebelum menikah. Sekali lagi rumah bukanlah sekedar tempat istirhat dan tidur, bernaung dari panas dan hujan, namun ia adalah wadah pencetakan generasi handal pengemban ideology islam. Oleh karena itu untuk mensuasanakan rumah dengan kerinduan mengoptimalkan potensi diri, meramu kelebihan dan mengeliminasi kendala demi kesempurnaan perjuangan mengemban ideologi islam yang telah diwajibkan oleh Allah SWT.
Perempuan
adalah sumber sakinah, bukan laki-laki. Mari kita perhatikan firman Allah swt:
“Di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk kalian isteri dari
species kalian agar kalian merasakan sakinah dengannya; Dia juga menjadikan di
antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (Ar-Rûm: 21)”. Dalam ayat ini ada
kalimat “Litaskunû”, supaya kalian memperoleh atau merasakan sakinah. Jadi
sakinah itu ada pada diri dan pribadi perempuan. Laki-laki harus mencarinya di
dalam diri dan pribadi perempuan. Tapi perlu diingat laki-laki harus menjaga
sumber sakinah, tidak mengotori dan menodainya. Agar sumber sakinah itu tetap
terjaga, jernih dan suci, dan mengalir tidak hanya pada kaum bapak tetapi juga
anak-anak sebagai anggota rumah tangga, dan gerasi penerus.
Kita
bisa belajar dari fakta dan relialita. Kaum isteri yang sudah ternoda mata air
sakinahnya berdampak pada anak-anak sebagai penerus ummat Rasulullah saw. Siapa
yang paling berdosa? Jelas yang mengotori dan menodainya.
Sebagai
pengantar untuk membangun keluarga sakinah baiklah kita pelajari Hak dan
Kewajiban yang buat oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain:
1. Suami adalah pemimpin rumah tangga
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (wanita)..”(An-Nisa’: 34)
2.
Suami
dipatuhi dan tidak boleh ditentang
3.
Tanpa
izin suami, isteri tidak boleh mensedekahkan harta suami, dan tidak boleh
berpuasa sunnah.
4.
Suami
harus dilayani oleh isteri dalam hubungan badan kecuali uzur, dan isteri tidak
boleh keluar rumah tanpa izinnya. Rasulullah saw bersabda:
“Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Tidak
mensedekahkan apapun yang ada di rumah suami tanpa izin sang suami. Tidak boleh
berpuasa sunnah kecuali dengan izin suami. Tidak boleh menolak jika suaminya
menginginkan dirinya walaupun ia sedang dalam kesulitan. Tidak diperkenankan
keluar rumah kecuali dengan izin suami.” (Al-Faqih, 3:277)
5. Menyalakan lampu dan menyambut suami
di pintu
6. Menyajikan makanan yang baik untuk
suami
7. Membawakan untuk suami bejana dan
kain sapu tangan untuk mencuci tangan dan mukanya
8. Tidak menolak keinginan suami
hubungan badan kecuali dalam keadaan sakit
Rasulullah
saw juga bersabda:
“Hak suami atas isteri adalah isteri
hendaknya menyalakan lampu untuknya, memasakkan makanan, menyambutnya di pintu
rumah saat ia datang, membawakan untuknya bejana air dan kain sapu tangan lalu
mencuci tangan dan mukanya, dan tidak menghindar saat suami menginginkan
dirinya kecuali ia sedang sakit.” (Makarim Al-Akhlaq: 215)
Rasulullah
saw juga bersabda:
“(Ketahuilah) bahwa wanita tidak pernah akan dikatakan telah
menunaikan semua hak Allah atasnya kecuali jika ia telah menunaikan
kewajibannya kepada suami.” (Makarim Al-Akhlaq:215)
D. Hak – Hak Istri
1.
Isteri
sebagai sumber sakinah, cinta dan kasih sayang. Suami harus menjaga
kesuciannya. (QS Ar-Rum: 21)
2. Isteri harus mendapat perlakukan
yang baik
“Ciptakan hubungan yang baik dengan isterimu.” ( Al-Nisa’
:19)
3. Mendapat nafkah dari suami
4. Mendapatkan pakaian dari suami
5. Suami tidak boleh menyakiti dan
membentaknya
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi Rasulullah
saw dan bertanya tentang hak seorang isteri. Beliau menjawab:
“Hak-hakmu atas suamimu adalah ia harus memberimu makan dengan
kwalitas makanan yang ia makan dan memberimu pakaian seperti kwalitas yang ia
pakai, tidak menampar wajahmu, dan tidak membentakmu” (Makarim Al-Akhlaq:218)
Rasulullah saw juga bersabda:
“Orang yang bekerja untuk menghidupi
keluarganya sama dengan orang yang pergi berperang di jalan Allah.”. (Makarim
Al-Akhlaq:218)
“Terkutuklah! Terkutuklah orang yang
tidak memberi nafkah kepada mereka yang menjadi tanggung jawabnya.” (Makarim
Al-Akhlaq:218)
6. Suami harus memuliakan dan bersikap
lemah lembut
7. Suami harus memaafkan kesalahannya
Cucu
Rasulullah saw Imam Ali Zainal Abidin (sa) berkata:
“Adapun hak isteri, ketahuilah
sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan untukmu dia sebagai sumber
sakinah dan kasih sayang. Maka, hendaknya kau sadari hal itu sebagai nikmat
dari Allah yang harus kau muliakan dan bersikap lembut padanya, walaupun hakmu
atasnya lebih wajib baginya. Karena ia adalah keluargamu Engkau wajib
menyayanginya, memberi makan, memberi pakaian, dan memaafkan kesalahannya.”
E. Menghindari Pertikaian
Rasulullah
saw bersabda:
“Laki-laki
yang terbaik dari umatku adalah orang yang tidak menindas keluarganya,
menyayangi dan tidak berlaku zalim pada mereka.” (Makarim Al-Akhlaq:216-217)
“Barangsiapa
yang bersabar atas perlakuan buruk isterinya, Allah akan memberinya pahala
seperti yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang tabah dan sabar
menghadapi ujian-ujian Allah yang berat”. (Makarim Al-Akhlaq:213)
“Barangsiapa
yang menampar pipi isterinya satu kali, Allah akan memerintahkan malaikat
penjaga neraka untuk membalas tamparan itu dengan tujuh puluh kali tamparan di
neraka jahanam.” (Mustadrak Al- Wasail 2:550)
Isteri
tidak boleh memancing emosi suaminya, Rasulullah saw bersabda:
“Isteri
yang memaksa suaminya untuk memberikan nafkah di luar batas kemampuannya, tidak
akan diterima Allah swt amal perbuatannya sampai ia bertaubat dan meminta
nafkah semampu suaminya.” (Makarim Al-Akhlaq: 202)
Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang sahabat mendatangi
Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang isteri yang selalu
menyambutku ketika aku datang dan mengantarku saat aku keluar rumah. Jika ia
melihatku termenung, ia sering menyapaku dengan mengatakan: Ada apa denganmu?
Apa yang kau risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan, ketahuilah bahwa rizkimu
ada di tangan Allah. Tapi jika yang kau risaukan adalah urusan akhirat, semoga
Allah menambah rasa risaumu.”
Setelah
mendengar cerita sahabatnya Rasulullah saw bersabda:
“Sampaikan
kabar gembira kepadanya tentang surga yang sedang menunggunya! Dan katakan
padanya, bahwa ia termasuk salah satu pekerja Allah. Allah swt mencatat baginya
setiap hari pahala tujuh puluh syuhada’.” Kisah ini terdapat dalam kitab
Makarimul Akhlaq: 200.
F.
Hakekat Kehidupan Rumah Tangga yang Sakinah
Bahwasanya
setiap pribadi, terkhusus mereka yang telah berumah tangga pasti dan sangat
berkeinginan untuk merasakan kehidupan yang sakinah, sehingga kita menyaksikan
berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana
semuanya itu dibangun diatas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan
kehidupan yang sakinah tadi. Maka nampak di pandangan kita sebagian orang ada
yang berusaha mencari dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena
mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah.
Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya,
karena memang di benak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada
kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Disana ada juga yang berpandangan
bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat
dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup
yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan
itu semua. Akan tetapi, pembaca yang budiman, perlu kita ketahui dan pahami
terlebih dahulu apa sebenarnya hakekat kehidupan yang sakinah dalam sebuah
kehidupan rumah tangga.
Sesungguhnya
hakekat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warohmah
(cinta dan kasih sayang) dari Allah subhanahu wata'ala Pencipta alam semesta
ini. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana para pelakunya/orang
yang menjalani kehidupan tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhoan
Allah dan rasulNya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan
meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Maka kesimpulannya, bahwa hakekat
sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada
realisasi/penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang
bertujuan mencari ridho Allah subhanahu wata'ala. Karena memang hakekat
ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama
dan datang dari sisi Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana firman Allah
(artinya):
"Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)." (Al Fath: 4)
"Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)." (Al Fath: 4)
G. Bimbingan Rasulullah dalam Kehidupan Rumah Tangga
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik)
yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar
tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah.
Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda beliau shallallahu
‘alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni dengan
perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan.
Diantaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong
menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling
menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan,
sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ
فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Nasehatilah
isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang
rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras
dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika
kalian membiarkannya (yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok.
Nasehatilah isteri-isteri (para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun
‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu)
Dalam hadits tersebut, kita
melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing
para suami untuk senantiasa mendidik dan menasehati isteri-isteri mereka dengan
cara yang baik, lembut dan terus-menerus atau berkesinambungan dalam
menasehatinya. Hal ini ditunjukkan dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam:
وَإِنْ
تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
yakni “jika kalian
para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka mereka tetap dalam
keadaan bengkok,” artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru.
Karena memang wanita itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai
sifat kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana
disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat.
Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan bagi seorang isteri untuk
memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang baik pula, karena nasehat
sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi siapa saja yang mampu hendaklah
dilakukan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.” (Al ‘Ashr: 3)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ
“Agama itu nasehat.”
(HR. Muslim)
Maka sebuah rumah tangga akan
tetap kokoh dan akan meraih suatu kehidupan yang sakinah, insya
Allah, dengan adanya sikap saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan.
H. Tips / Cara Bagaimana
Meraih Kehidupan yang Sakinah
1.
Berdzikir
Ketahuilah,
dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka
seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu
wata’ala berfirman (artinya):
“Ketahuilah, dengan
berdzikir kepada Allah, (maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.” (Ar
Ra’d: 28)
Baik dzikir dengan
makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir tertentu
yang telah disyariatkan, misal:
أَسْتَغْفِرُالله
,
dan lain-lain, maupun dzikir
dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah
atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu
wata’ala, seperti sholat, shoum (puasa), shodaqoh,
dan lain-lain.
2.
Menuntut ilmu agama
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
“Tidaklah berkumpul suatu
kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana)
mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun
(dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka as sakinah (ketenangan).”
(Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi mereka yang mempelajari Al
Qur`an (ilmu agama), baik dengan mempelajari cara membaca maupun dengan membaca
sekaligus mengaji makna serta tafsirnya, yaitu bahwasanya Allah akan
menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada mereka.
I. Tips Keharmonisan Pasangan Suami-Istri
Siapapun
yang telah mengikatkan diri dalam tali pernikahan tentunya menginginkan
atmosfer rumah tangga yang harmonis. Maka yang harus dipikirkan pertama kali
adalah bagaimana melakukan harmonisasi hubungan suami-istri. Menjaga
keharmonisan pasangan suami-istri (pasutri) tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan, tapi membutuhkan usaha dan pengorbanan.
Berikut ini adalah sepuluh tips mewujudkan
keharmonisan pasutri, sebagaimana ditulis Wafaa‘ Muhammad, dalam kitabnya Kaifa
Tushbihina Zaujah Rumansiyyah:
1.
Berupaya saling mengenal dan memahami
Perbedaan
lingkungan dan kondisi tempat suami atau istri tumbuh sangat berpengaruh dalam
pembentukan ragam selera, perilaku, dan sikap yang berlainan pada setiap pihak
dari yang lain. Hal itu merupakan kewajiban setiap pasutri untuk memahami
keadaan ini dan berusaha mengetahui serta mengenal pihak lain yang menjadi
pasangan hidupnya. Mereka juga harus mengetahui semua hal yang berkaitan dengan
situasi kehidupan yang mempengaruhi, sehingga dapat maju ke depan dan
mewujudkan keharmonisan.
2.
Perasaan timbal-balik
Suami dan
istri adalah partner dalam satu kehidupan yang direkatkan dalam tali
pernikahan; satu ikatan suci yang mempertemukan keduanya. Tak pelak lagi,
keduanya harus berbagi suka-duka; membagi kesedihan dan kegembiraan bersama.
Keduanya saling berkelindan untuk menyongsong satu cita-cita luhur yaitu
mewujudkan tatanan kehidupan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Untuk
memupuk kasih sayang di masing-masing pihak, suami membutuhkan cinta istri, dan
istri pun membutuhkan cinta suami.
…Suami dan istri harus berbagi
suka-duka, membagi kesedihan dan kegembiraan bersama…
3.
Setiap pihak harus hormat
Ketika suami
atau istri memasuki rumahnya, maka dia layak mendapatkan penghormatan dan
apresiasi dari pasangannya. Hal itu bertujuan untuk menjaga harkat dan mengangkat
prestise pasutri, sehingga masing-masing merasa nyaman untuk membangun rumah
tangga harmonis. Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban pasutri untuk mencari
poin-poin positif yang dimiliki masing-masing untuk digunakan sebagai penopang
sikap saling menghormati.
4. Berusaha
menyenangkan pasangannya
Dalam
kehidupan keluarga, bahkan dalam kehidupan sosial secara general, jika
seseorang berusaha mengedepankan dan mengutamakan orang lain dari dirinya
sendiri, maka berarti dia telah menanam benih-benih cinta dan kedekatan kepada
semua orang di sekelilingnya. Dengan demikian, setiap pasutri disarankan untuk
senantiasa menyenangkan pasangannya, dan mendahulukan serta mengutamakannya
dari dirinya sendiri, demi memperkukuh ikatan cinta kasih di antara keduanya.
Pasalnya, ketika suami melihat istri membaktikan diri untuk menyenangkan
dirinya, tentunya dia akan melakukan sesuatu yang bisa membuat senang dan
gembira hati istri. Hal itu dilakukannya untuk membalas kebaikan istrinya, atau
setidaknya sebagai pengakuan atas kebaikan tersebut.
5.
Mengatasi persoalan bersama
Pernikahan
merupakan bentuk relasi partnership dan partisipasi. Partnership yang berdiri
di atas landasan kesamaan tujuan, cita-cita, sikap, intuisi dan perasaan, serta
kolaborasi dan solidaritas dalam memecahkan setiap persoalan. Setiap masalah
yang timbul dalam kehidupan suami-istri, maka masalah itu dilihat sebagai suatu
kecemasan kolektif.
…Setiap masalah yang timbul
dalam kehidupan suami-istri, harus dipandang sebagai suatu kecemasan kolektif…
Paradigma demikian memicu suami
agar berusaha bekerja keras dalam rangka memberikan kehidupan mulia bagi istri
dan anak-anaknya. Pun demikian, istri akan berusaha menjalankan urusan rumah
tangga sesuai prosedur yang disepakati bersama. Upaya yang dilakukan oleh suami
dan istri tersebut merupakan solusi untuk memecahkan masalah bersama. Pun
demikian, baik suami maupun istri tidak perlu menyembunyikan problemnya, bahkan
diperlukan kejujuran dan transparansi demi menumbuhkan benih-benih kepercayaan
dan saling pengertian, sehingga mudah menemukan solusi. Bisa jadi, permasalahan
memiliki dampak positif untuk meneguhkan ikatan suami-istri.
6.
Sikap qana’ah
Di antara
tanda keharmonisan cinta pasutri adalah sikap merasa puas dengan yang ada (qana’ah);
merasa puas dengan prasarana hidup yang tersedia. Kelanjutan sikap manja,
kebiasan hidup serba ada, boros dan berfoya-foya pada masa kecil atau remaja
termasuk salah satu faktor yang memicu pertikaian pasutri. Sikap demikian
berlawanan dengan kedewasaan yang menuntut pandangan realistis tentang
kehidupan. Hal-hal picisan dan glamor yang digembar-gemborkan media publikasi
sejatinya tidak akan menciptakan kebahagiaan. Karena kebahagiaan sejati
memancar dari hati dan jiwa terdalam, bukan bertolak dari aspek-aspek materi
yang justru memicu kesenjangan dan konflik pasutri.
7.
Sikap toleransi kedua belah pihak
Sungguh
sangat tidak logis jika setiap pihak mengharapkan perilaku ideal permanen dari
pasangannya dalam hubungan rumah tangga, karena menurut tabiatnya, manusia
kadang salah dan benar. Suami atau istri kadang lupa dan khilaf sehingga kerap
mengulangi kesalahan serta kekeliruannya. Dia mungkin melakukan kesalahan
karena ketidaktahuan, dan mengulanginya tanpa disadarinya. Jika setiap pihak
berkeinginan untuk menghukum, menghakimi, atau membalas dendam untuk setiap
kesalahan yang dilakukan pasangannya, maka berarti dia merusak fondasi
keharmonisan rumah tangga.
…Kesalahan tidak perlu diikuti
dengan tekanan, cacian, dan intimidasi, terutama jika kesalahan itu tidak
berkaitan dengan norma-norma keislaman…
Jika kita mencela segala hal,
maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang tidak kita cela. Melakukan
kesalahan adalah hal lumrah yang hanya membutuhkan pelurusan, pengarah, dan
petunjuk, yang dibarengi dengan sikap penyesalan dan keinginan untuk berubah
lebih baik. Kesalahan tidak perlu diikuti dengan tekanan, cacian, dan
intimidasi, terutama jika kesalahan itu tidak berkaitan dengan norma-norma
keislaman. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan kehabisan cara yang sesuai untuk
mengoreksi kesalahan dan penyimpangan pasangannya. Jalan terbaik dalam hal ini
adalah nasihat yang tenang dan membuat pasangannya merasa bahwa hal itu adalah
untuk kebaikan diri dan keluarganya.
8.
Berterus-terang
Sikap terus
terang, kejujuran, dan keberanian adalah kunci kebahagiaan kehidupan rumah
tangga yang tidak mungkin nihil dari kesalahan. Dalam artian, jika Anda
melakukan kesalahan, maka yang harus Anda lakukan adalah bergegas meminta maaf,
berani mengakuinya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari.
Sikap tersebut sama sekali tidak berarti menistakan status dan harga diri Anda.
Hal itu justru mendorong pihak lain untuk menghormati, mempercayai, dan
memaafkan Anda.
9.
Kepedulian dan solidaritas
Bagian
fragmen terindah kehidupan rumah tangga adalah kepedulian dan solidaritas yang
dilakoni suami atau istri dalam menghadapi kesulitan dengan kesabaran dan
perjuangan luar biasa. Tatkala istri berdiri di samping suaminya, maka suami
akan merasa kuat dan penuh percaya diri, begitu juga sebaliknya. Ketika istri
atau suami merasakan bahwa pasangannya merasa kuat dan percaya diri, maka dia
akan merasa jiwanya diliputi kedamaian dan ketenteraman. Sisi ini pada
kenyataannya merupakan esensi pernikahan dan integrasi batin di antara kedua
belah pihak.
10.
Kearifan
Kearifan satu
sama lain –hingga pada situasi yang paling suram— membantu meletakkan fondasi
kukuh keharmonisan. Bisa jadi, dikarenakan sebuah kesalahan, suami atau istri
memiliki kemampuan hebat untuk mencelakai pasangannya, hanya saja kearifan
mencegahnya melakukan hal itu. Kearifan memperkokoh semangat kesepahaman di
antara keduanya. Atau salah satu pasutri mungkin merasa lebih berhak dalam hal
tertentu, namun setelah berpikir ulang tentang hal itu, dia tidak lagi keukeuh
mempertahankan pendapatnya yang bisa memicu friksi.
…masalah silih berganti
menghampiri. Maka, kearifan adalah benteng kokoh yang melindungi keluarga dari
disharmonisasi…
Ketika dia
mundur dengan motif kearifan, maka dia berarti melenyapkan aroma konflik dan
perselisihan. Namun jika sikap mau menang sendiri dan superioritas negatif
menggantikan posisi kearifan, maka kedamaian dan kemapanan kehidupan rumah
tangga akan tercederai. Jika demikian, tak heran jika masalah silih berganti
menghampiri. Maka, kearifan adalah benteng kokoh yang melindungi keluarga dari
disharmonisasi.
Itulah tips – tips yang dapat
saya berikan, tentang bagaimana membangun rumah tangga yang SAMARA (Sakinah,
Mawaddah, dan Harahmah). Semoga bermanfaat bagi para pembaca yang akan segera
membina rumah tangga ataupun yang sedang menjalani kehidupan baru bersama
dengan pasangan (Suami/isteri) anda.
Terima kasih. (Herman Suprianto/11094966/11.5B.24)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar