Jumat, 30 Desember 2011

Perbedaa fiqih dalam islam

Nama  : Wawan Setiawan
NIM   : 12110500
Kelas  : 12.2B.24


            1. Pengertian Fiqih
Fiqih menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT: "Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." (Thaha:27-28). Dalam terminologi islam, fiqih mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di generasi kemudian. Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat islam (zaman Sahabat, tabi'in dst.), fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap islam secara utuh. Dalam terminologi mutakhirin, fiqih adalah ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum syara' (hukum yang diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah) yang bersifat amaliah (bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan) dari dalil-dalilnya yang rinci.

            2. Kewajiban Mengamalkan Al-qur’an dan As-sunnah

            Hampir tidak terhitung banyaknya dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mewajibkan para mukallaf untuk mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah rasulullah. Diantaranya, Allah berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya....” (Al-A’raf:3).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.....” (Al-Hasyr:7).

            3. Sikap Terhadap Imam Panutan

            Sikap kita terhadap para imam, baik empat imam maupun selebihnya, adalah mencintai mereka, memuliakan, menghormati, dan memberikan pujian kepada mereka karena kedalaman ilmu dan ketakwaan mereka, keteguhan mereka dalam mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendahulukan keduanya daripada pendapat mereka sendiri.
Kita mempelajari pendapat-pendapat mereka sebagai sarana mencapai kebenaran.

a.    Para imam rahimahumullah bukanlah orang-orang yang terlepas dari kekeliruan (ma’shum). Masing-masing mereka mengalami kekeliruan dalam beberapa masalah.
b.    Tidak ada seorang dari para imam yang sengaja menyelisihi Sunnah Rasulullah.
c.    Terdapat alasan, mengapa pendapat para imam bertentangan dengan sunnah.
d.    Kita tidak boleh berpaling dari pendapat yang hujjahnya jelas berdasarkan hadits shahih yang disetujui oleh segolongan ulama, kepada pendapat ulama yang lain walaupun ia lebih alim daripada ulama yang sebelumnya.

I. Imam Abu Hanifah
1.    Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.
2.    Apabila aku mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku itu!
II. Imam Malik bin Anas
1.  Aku hanyalah seorang manusia yang terkadang salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku itu. Semua pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ambillah, dan semua pendapatku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tinggalkanlah.
2.  Tidak ada seorangpun sesudah Nabi melainkan pendapatnya dapat diterima atau ditolak, kecuali ucapan Nabi.
III. Imam Asy-Syafi’i
1.    Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan hadits Rasulullah, maka peganglah hadits Rasulullah dan tinggalkanlah pendapatku.
2.    Setiap Hadits yang datang dari Nabi, maka itulah pendapatku, sekalipun kalian belum pernah mendengarnya langsung dariku.
IV. Imam Ahmad bin Hanbal
1.  Janganlah bertaklid kepadaku, atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Ats-Tsauri. Tetapi ambillah dari mana mereka mengambilnya.
2.  Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, maka ia sedang berada di jurang kehancuran.

4. Meninggalkan Sebagian Pendapat Imam Demi mengikuti Sunnah

Para pengikut imam tidak berpegang pada semua pendapat imam mereka. Bahkan dua orang imam: Muhammad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf menyelisihi sepertiga dari pendapat guru mereka, Abu Hanifah. Demikian juga halnya Imam Al-Muzani dan sebagainya dari pengikut Imam Asy-Syafi’i. ‘Isham bin Yusuf Al-Balkhi, salah seorang murid Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf, banyak memberikan fatwa yang menyelisihi pendapat Abu Hanifah; karena pada saat itu Imam Abu Hanifah belum mengetahui dalilnya.

5. Beberapa Syubhat

1. Apakah seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab?

Rasulullah tidak mewajibkan umat untuk memilih salah satu madzhab tertentu. Beliau hanya mewajibkan untuk mengikutinya. Bertaklid kepada madzhab imam tertentu tanpa mengindahkan dalil adalah tindakan yang sangat bodoh dan petaka yang sangat besar. Allah tidak membolehkan seseorang mengembalikan perselisihan yang terjadi kepada siapapun, selain Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa’:59)

2. Antara taklid dan ittiba’

Taklid menurut pengertian syari’at, adalah mengikuti pendapat yang tidak memiliki hujjah atau dalil. Dan ini adalah perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Adapun ittiba’ adalah mengikuti pendapat yang memiliki dasar dalil. (Ibnu Khuwaiz Mandad yang dinukil Ibnu Abdil Barr)

3. Mengikuti dalil bukan berarti memboikot pendapat para imam

Orang yang bertaklid kepada madzhab mengira bahwa ajakan mengikuti dalil serta tidak mengambil pendapat para imam yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah; berarti tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak dan sama sekali tidak mengambil manfaat dari hasil ijtihad mereka. Al-Allamah Al-Albani berkata:
“Kami hanya menyerukan agar tidak menjadikan madzhab sebagai agama dan mensejajarkannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yakni menjadikan madzhab sebagai rujukan, jika terjadi perbedaan pendapat, atau ketika hendak mengambil hukum-hukum baru.”
Al-Allamah Ibnu Abdil Barr berkata:
“Hendaknya anda menghapal dan memperhatikan sumber-sumber pokok agama......,tidak membeo kepada seseorangpun,.....,dan menghargai usaha mereka yang bermanfaat, memuji mereka karena kebenaran kebanyakan pendapat mereka, tidak menyatakan dirinya selamat dari kesalahan; seperti para ulama terdahulu, berarti ia seorang penuntut ilmu yang berpegang teguh pada tradisi salafus shalih.....”

4. Apakah ada keluasan dan rahmat dalam ikhtilaf?

Banyak kalangan berpendapat boleh mengambil madzhab mana saja, apapun sandarannya dan membolehkan memilih pendapat madzhab mana saja yang lebih ringan serta sesuai dengan hawa nafsu mereka, walaupun ternyata dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah bertentangan dengan pendapat yang mereka pilih; dengan alasan bahwa perbedaan ini adalah keluasan yang diberikan kepada umat ini, seraya berdalil dengan hadits “Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umatku adalah rahmat (dari Allah)”.
Al-Allamah Al-Albani menjawab syubhat ini: pertama, hadits tersebut tidak sah, bahkan bathil dan tidak ada sumbernya. Hasil analisa hadits ini telah dicantumkan dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah (hadits nomor 58, 59 dan 61). Kedua, hadits ini bertentangan dengan Al-Qur’an. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (Al-Anfal: 46)
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda posting komentar