NIM : 12110500
Kelas : 12.2B.24
1.
Pengertian Fiqih
Fiqih
menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT: "Dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." (Thaha:27-28).
Dalam terminologi islam, fiqih mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami
oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di generasi
kemudian. Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat islam (zaman Sahabat, tabi'in
dst.), fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap islam secara utuh. Dalam
terminologi mutakhirin, fiqih adalah ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum syara'
(hukum yang diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah) yang bersifat amaliah (bukan
yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan) dari dalil-dalilnya yang rinci.
2. Kewajiban
Mengamalkan Al-qur’an dan As-sunnah
Hampir tidak terhitung banyaknya
dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mewajibkan para mukallaf untuk mengamalkan
Al-Qur’an dan Sunnah rasulullah. Diantaranya, Allah berfirman :
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya....” (Al-A’raf:3).
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah.....” (Al-Hasyr:7).
3. Sikap
Terhadap Imam Panutan
Sikap kita terhadap para imam, baik
empat imam maupun selebihnya, adalah mencintai mereka, memuliakan, menghormati,
dan memberikan pujian kepada mereka karena kedalaman ilmu dan ketakwaan mereka,
keteguhan mereka dalam mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendahulukan
keduanya daripada pendapat mereka sendiri.
Kita
mempelajari pendapat-pendapat mereka sebagai sarana mencapai kebenaran.
a.
Para
imam rahimahumullah bukanlah orang-orang yang terlepas dari kekeliruan
(ma’shum). Masing-masing mereka mengalami kekeliruan dalam beberapa masalah.
b.
Tidak
ada seorang dari para imam yang sengaja menyelisihi Sunnah Rasulullah.
c.
Terdapat
alasan, mengapa pendapat para imam bertentangan dengan sunnah.
d.
Kita
tidak boleh berpaling dari pendapat yang hujjahnya jelas berdasarkan hadits
shahih yang disetujui oleh segolongan ulama, kepada pendapat ulama yang lain
walaupun ia lebih alim daripada ulama yang sebelumnya.
I. Imam Abu Hanifah
1.
Apabila
suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.
2.
Apabila
aku mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku itu!
II. Imam Malik bin Anas
1.
Aku
hanyalah seorang manusia yang terkadang salah dan terkadang benar. Oleh karena
itu, telitilah pendapatku itu. Semua pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, ambillah, dan semua pendapatku yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, tinggalkanlah.
2.
Tidak
ada seorangpun sesudah Nabi melainkan pendapatnya dapat diterima atau ditolak,
kecuali ucapan Nabi.
III. Imam Asy-Syafi’i
1.
Bila
kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan hadits
Rasulullah, maka peganglah hadits Rasulullah dan tinggalkanlah pendapatku.
2.
Setiap
Hadits yang datang dari Nabi, maka itulah pendapatku, sekalipun kalian belum
pernah mendengarnya langsung dariku.
IV. Imam Ahmad bin Hanbal
1.
Janganlah
bertaklid kepadaku, atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Ats-Tsauri.
Tetapi ambillah dari mana mereka mengambilnya.
2.
Barangsiapa
yang menolak hadits Rasulullah, maka ia sedang berada di jurang kehancuran.
4. Meninggalkan
Sebagian Pendapat Imam Demi mengikuti Sunnah
Para
pengikut imam tidak berpegang pada semua pendapat imam mereka. Bahkan dua orang
imam: Muhammad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf menyelisihi sepertiga dari pendapat
guru mereka, Abu Hanifah. Demikian juga halnya Imam Al-Muzani dan sebagainya
dari pengikut Imam Asy-Syafi’i. ‘Isham bin Yusuf Al-Balkhi, salah seorang murid
Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf, banyak memberikan fatwa yang menyelisihi
pendapat Abu Hanifah; karena pada saat itu Imam Abu Hanifah belum mengetahui
dalilnya.
5. Beberapa Syubhat
1.
Apakah seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab?
Rasulullah
tidak mewajibkan umat untuk memilih salah satu madzhab tertentu. Beliau hanya
mewajibkan untuk mengikutinya. Bertaklid kepada madzhab imam tertentu tanpa
mengindahkan dalil adalah tindakan yang sangat bodoh dan petaka yang sangat
besar. Allah tidak membolehkan seseorang mengembalikan perselisihan yang terjadi
kepada siapapun, selain Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa’:59)
2.
Antara taklid dan ittiba’
Taklid
menurut pengertian syari’at, adalah mengikuti pendapat yang tidak memiliki
hujjah atau dalil. Dan ini adalah perbuatan yang dilarang dalam syari’at.
Adapun ittiba’ adalah mengikuti pendapat yang memiliki dasar dalil. (Ibnu
Khuwaiz Mandad yang dinukil Ibnu Abdil Barr)
3.
Mengikuti dalil bukan berarti memboikot pendapat para imam
Orang
yang bertaklid kepada madzhab mengira bahwa ajakan mengikuti dalil serta tidak
mengambil pendapat para imam yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah;
berarti tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak dan sama sekali tidak
mengambil manfaat dari hasil ijtihad mereka. Al-Allamah Al-Albani berkata:
“Kami hanya
menyerukan agar
tidak menjadikan madzhab sebagai agama dan mensejajarkannya dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Yakni menjadikan madzhab sebagai rujukan, jika terjadi perbedaan
pendapat, atau ketika hendak mengambil hukum-hukum baru.”
Al-Allamah
Ibnu Abdil Barr berkata:
“Hendaknya
anda menghapal dan memperhatikan sumber-sumber pokok agama......,tidak membeo
kepada seseorangpun,.....,dan menghargai usaha mereka yang bermanfaat, memuji
mereka karena kebenaran kebanyakan pendapat mereka, tidak menyatakan dirinya
selamat dari kesalahan; seperti para ulama terdahulu, berarti ia seorang
penuntut ilmu yang berpegang teguh pada tradisi salafus shalih.....”
4.
Apakah ada keluasan dan rahmat dalam ikhtilaf?
Banyak
kalangan berpendapat boleh mengambil madzhab mana saja, apapun sandarannya dan
membolehkan memilih pendapat madzhab mana saja yang lebih ringan serta sesuai
dengan hawa nafsu mereka, walaupun ternyata dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
bertentangan dengan pendapat yang mereka pilih; dengan alasan bahwa perbedaan
ini adalah keluasan yang diberikan kepada umat ini, seraya berdalil dengan
hadits “Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umatku adalah rahmat (dari Allah)”.
Al-Allamah
Al-Albani menjawab syubhat ini: pertama, hadits tersebut
tidak sah, bahkan bathil dan tidak ada sumbernya. Hasil analisa hadits ini
telah dicantumkan dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah
(hadits nomor 58, 59 dan 61). Kedua, hadits ini bertentangan dengan
Al-Qur’an. Allah berfirman:
“Dan
janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu.” (Al-Anfal: 46)
“Tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar