Rabu, 28 Desember 2011

Islam Sebagai "Problem Solver"

Tidak ada manusia di dunia ini yang terbebas dari masalah. Itulah sebuah cobaan. Bagi orang yang beriman, setiap masalah dihadapi dengan kepasrahan. Mereka tegar menghadapinya. Namun, masih banyak manusia yang tertimpa masalah berputus asa, bahkan berakhir bunuh diri. Padahal, setiap masalah itu ada penyelesaiannya.

Islam memosisikan diri sebagai solusi dari semua permasalahan hidup dan kemanusiaan. Waktunya berlaku sepanjang zaman dan dapat dilakukan di manapun juga. Cara penyelesaiannya sudah pasti berpedoman pada Alquran dan hadist sebagai petunjuk hidup manusia.

Oleh karena itu, hanyalah dengan islam sebagai solusi dalam permasalahan hidup di dunia ini. Islam adalah manhaj yang sanggup menutupi seluruh kebutuhan hidup manusia baik yang bersifat individual maupun komunal. Baik yang menyangkut hukum maupun pendoman hidup. Baik yang bersifat intermanl maupun eksternal.

Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.  
Pada dasarnya, yang disebut dengan masalah (problem, musykilah) adalah suatu keadaan di mana terdapat perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang ideal) dengan das sein (yang nyata, yang real). Bagi umat Islam, kondisi ideal itu adalah hidup di bawah naungan syariat Islam. Sebab penerapan syariat Islam ini adalah wajib atas umat Islam. Seperti Firman Allah SWT :

“Maka demi Tuhanmu (Muhammad), mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An-Nisaa` : 65)
Di samping itu, diyakini bahwa dalam kondisi ideal tersebut --menerapkan syariat Islam— umat Islam akan mendapatkan rahmat dan kebaikan. Sebaliknya diyakini pula, bila umat Islam berada dalam kondisi tak-ideal --meninggalkan syariat Islam— mereka akan ditimpa berbagai kesulitan dan kesengsaraan. Allah SWT berfirman :

“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaahaa : 123-124)

Bertolak dari prespektif iman di atas, maka krisis multidimensi yang menimpa Indonesia sejak 1997 lalu, sesungguhnya dapat dibaca sebagai akibat logis dari penerapan sistem non-syariat Islam. Krisis yang yang berawal dari krisis moneter itu, telah berkembang menjadi krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis politik yang akhirnya memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia. Kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan pendidikan Indonesia menjadi carut-marut tidak karuan.

Semua masalah dan krisis ini sesungguhnya adalah akibat dari meninggalkan syariat Islam yang seharusnya diberlakukan sebagai solusi berbagai masalah manusia (mu’alajat li masyakil al-insan). Maka dari itu, untuk mengatasi berbagai krisis tersebut, tak ada jalan lain bagi umat Islam, kecuali dengan kembali menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.

          Dan sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa syariat Islamlah yang memiliki kebenaran mutlak. Kemudian bersamaan dengan itu, kita juga harus memahami ketidakteraturan dan kegagalan yang diderita oleh masyarakat yang menggunakan undang-undang produk manusia di seluruh dunia ini. Kapitalisme, demokratisme dan liberalisme maupun sosialisme dan komunismen. Karena itu semua adalah produk manusia dengan segala keterbatasan, kelemahan dan temporal.

          Di bidang kemasyarakatan, haluan kiri dan kanan telah gagal memberikan jaminan kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan kepada umat manusia. Bahkan sebaliknya, ia telah menyebabkan kesengsaraan manusia. Ikatan kekeluargaan, kemasyarakatan menjadi rusak karenanya. Akhlak menjadi bejat. Norma dan kehormatan menjadi hilang. Stress dan depresi datang menggantikan ketenangan dan ketenteraman. Egoisme dan cinta diri sendiri muncul menggantikan kegotong-royongan. Sifat itsar (mementingkan orang lain) dan cinta kasih sesama menjadi sifat individual.

          Di bidang ekonomi, teori-teori kapitalisme dan sosialisme tidak mampu mewujudkan surga impian negara sejahtera. Konsep masyarakat yang adil dan makmur yang digembar-gemborkan hanya sebatas slogan belaka. Dibawah naungan kedua tatanan itu, muncul problematika perang antar kelas, kesewenang-wenangan sosial, monopoli, penimbunan kekayaan, kemiskinan, pengangguran dan problematika lainnya.
Monopoli, suap-menyuap, kesewenang-wenangan, penindasan, pembantaian, pemberontakan, dan pembunuhan menjadi karakteristik semua sistem tersebut.

          Di bidang militer, semua tatanan itu bertanggung jawab atas ketidakpedulian manusia terhadap problem kemanusiaan. Problematika masyarakat muslim yang tidak kunjung selesai seperti di Kasmir, Eritrea, Philipina, paska perang Irak dan negara lainnya. Masalah paling utama adalah Palestina, yang terus berada di dalam jajahan Israel.


Syariat dan Khilafah
Kewajiban menerapkan syariat Islam secara menyeluruh tersebut, untuk mengatasi berbagai permasalahan umat, tidak akan terwujud sempurna tanpa adanya Khilafah, sebuah institusi politik Islam yang memang mempunyai misi menerapkan Islam secara menyeluruh. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, 1990:17).

Keharusan eksistensi Khilafah ini dapat dipahami mengingat tanggung jawab penerapan syariat Islam memang berada di atas pundak yang berbeda-beda. Secara garis besar tanggung jawab penerapan hukum-hukum syariat terletak pada 3 (tiga) pihak : individu, kelompok, dan negara (Ahmad Mahmud, Ad-Da’wah Ila Al-Islam,1995 : 49).  Sholat, zakat, dan haji, misalnya, adalah hukum-hukum syariat yang dibebankan kepada individu. Amar ma’ruf nahi mungkar, adalah hukum-hukum syariat yang terkait dengan kelompok (jamaah). Sedang hukum-hukum tatanegara, misalnya pengaturan urusan rakyat (riayah asy syu`un), pelaksanaan sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem pendidikan Islam, sanksi-sanksi pidana, politik luar negeri, adalah adalah hukum-hukum syariat yang terkait dengan eksistensi negara.

Penerapan syariat oleh negara inilah yang disebut dengan formalisasi syariat, yang terwujud dalam bentuk aktivitas seorang kepala negara (khalifah) dalam menetapkan dan melaksanakan konsitusi dan berbagai undang-undang Islami atas kaum muslimin. Dengan instrumen hukum itulah khalifah akan menerapkan syariat Islam dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan umat.

Dengan demikian, keberadaan Khilafah adalah sebuah kewajiban syar’i, mengingat penerapan syariat Islam –yang hukumnya wajib— tak mungkin terlaksana dengan baik tanpa institusi Khilafah. Kaidah syar’iyah menyebutkan :

Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib   

“Sebuah kewajiban yang tidak terwujud sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.”

          Serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam­paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada­nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.

          Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT :

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (QS Al-Hijr : 94)

          Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan, dan kesalahannya.

          Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.

Mahasiswa Sebagai Agen Perubah
Mahasiswa merupakan agent of change yang memiliki peran penting dalam penyelesaian problematika masyarakat. Oleh sebab itu, mahasiswa memiliki andil yang besar untuk menuju arah perubahan masyarakat dan negara. Perubahan dalam hal ini adalah perubahan yang mampu memperbaiki dan mengatasi permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, seperti kemiskinan, tindak asusila, pergaulan bebas, mahalnya pendidikan, kesehatan dan bahan pokok, kriminalitas, dan korupsi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan solusi, yaitu menggunakan aturan Islam dalam aspek kehidupan karena hanya dengan Islam manusia akan sejahtera. Sehingga mahasiswa perlu berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam secara kaffah (Menyeluruh) yang pada akhirnya akan diperoleh daulah khilafah (sistem pemerintahan yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh).
Setelah dibekali dengan ilmu, maka mahasiswa akan punya modal untuk menjalankan tujuan hakiki mereka sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari masyarakat yang peka dan peduli serta berusaha untuk ikut andil dalam pemecahan permasalahan yang ada di masyarakat yang secara langsung juga menjadi permasalahan Negara. Tidak hanya itu, tapi juga sebagai “agent of change” mahasiswa harus mampu melakukan perubahan bagi kebaikan dirinya, kampus, dan masyarakat di luar kampus yakni umat secara umum yang ahirnya dapat merubah negara dengan penerapan Islam.
Namun sampai dengan saat ini, negara belum menerapkan hal tersebut, tapi justru berdasarkan pada demokrasi yang mana pada artinya, menyerahkan segala sesuatunya pada tangan manusia, karena prinsipnya adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Sementara kemampuan manusia terbatas, sehingga penyelesaian permasalahan pun tidak akan tuntas. Oleh karenanya mahasiswa perlu melakukan dakwah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar memunculkan kesadaran umat tentang pentingnya Islam sebagai problem solver(Larasati Nurdyaningsih/11.5B.24/11094947)

2 komentar:

  1. fonetiknya miring lieur bacanya

    BalasHapus
  2. Mungkin karena matanya kurang sehat jdi lier....hehehehe

    BalasHapus

Silakan Anda posting komentar