NAMA : SUHARTO YUWONO
NIM : 12110276
KELAS : 12.2B.24
Membangun Kesalehan
Personal dan Sosial
Hai orang-orang yang
beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)
Ayat ini merupakan ayat kedua terakhir dari surah yang unik dan
istimewa, surah al-Hajj. Dikatakan surah yang unik karena sebagian ulama tafsir
menggolongkan surah ini ke dalam kategori surah Makkiyah, namun sebagian
yang lain justru sebaliknya menggolongkannya ke dalam kategori surah Madaniyah.
Surah ini juga unik karena di dalamnya ada dua ayat sajdah, yaitu ayat 18 dan ayat
ini seperti yang di pahami dari sebuah riwayat dari Uqbah bin Amir:
”Keutamaan surah
al-Hajj karena terdapat dua ayat sajdah padanya. Barangsiapa yang tidak
bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca surah ini.” (HR. at-Tarmidzi dan Abu
Dawud)
Ayat ini menggambarkan secara ringkas manhaj Allah SWT untuk
manusia dan beban taklif bagi mereka agar mendapatkan keselamatan dan
kemenangan. Ia di awali dengan perintah untuk rukuk dan sujud yang merupakan
gambaran gerakan shalat yang tampak dan jelas, dilanjutkan dengan
perintah untuk beribadah secara umum yang meliputi segala gerakan, amal dan
pikiran yang di tujukan hanya kepada Allah SWT sehingga segala aktivitas
manusia bisa beralih menjadi ibadah bila hati ditujukan hanya kepada Allah SWT
bahkan Kenikmatan-kenikmatan dari kelezatan hidup dunia yang dirasakannya dapat
bernilai ibadah yang di tulis sebagai pahala amal baik .
Ayat ini di tutup dengan perintah berbuat baik
secara umum dalam hubungan horizontal dengan manusia setelah perintah untuk
membangun hubungan vertikal dengan Allah SWT, dalam shalat dan ibadah lainnya.
Oleh sebab itu, perintah ibadah dimaksudkan agar umat Islam selalu
terhubung dengan Allah SWT sehingga kehidupan berdiri di atas fondasi yang
kukuh dan jalur yang dapat membawa kepada-Nya. Sedangkan perintah untuk
melakukan kebaikan, dapat membangkitkan kehidupan yang istiqamah dan kehidupan
masyarakat yang penuh dengan suasana kasih sayang.
Perintah ini dipertegas kembali di akhir surah al-Hajj, bahwa umat
Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai umat pilihan dan
sebagai saksi atas umat yang lain manakala mampu membina hubungan
baik dengan Allah SWT dan membina hubungan baik sesama manusia:
”Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (AL-Qur’an)
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik
pelindung dan Sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj:78)
Pada ayat di atas, Allah SWT memberi perintah kepada orang beriman
agar mampu membangun kesalehan personal dan sosial secara bersamaan agar
senantiasa dalam kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi dari
pengabdian seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan
indikasi kesalehan sosial.
Secara redaksional dalam urutan perintah
ayat di atas, ternyata Allah SWT mendahulukan kesalehan personal dari kesalehan
sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai
dengan kesalehan personal. Atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan
untuk saleh juga secara sosial. Bahkan seluruh perintah beribadah kepada Allah
SWT dimaksudkan agar lahir darinya kesalehan sosial, seperti shalat misalnya,
bagaimana ia bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut : 45)
Kisah yang diabadikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya
bagaimana seorang wanita yang saleh secara personal yang diwujudkan dengan
ibadah shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainnya namun ternyata Rasulullah SAW
menyatakan bahwa ia dalam neraka. Karena ternyata kesalehan itu tidak
membawanya menuju kesalehan sosial, bahkan ia cenderung tidak mampu menjaga
lisannya dari tidak melukai hati orang lain.
Dalam tataran tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
terdapat beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara
kesalehan personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk
menggapai predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu sholeh secara
individu dan sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak,
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di
dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali
tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum
fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 16-19)
Ibnu Asyur mengomentari ayat ini dengan
menjelaskan bahwa dua bentuk amal inilah yang sangat berat untuk dilakukan
karena: pertama, bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena
mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling
utama untuk membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan
harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya
memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah SWT
menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan
sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Nilai lain yang terkait dengan dua kesalehan
ini, adalah sebab utama yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam
neraka karena tidak mampu membentengi diri dengan dua kesalehan tersebut,
seperti pernyataan jujur penghuni neraka yang diabadikan Allah SWT dalam
firman-Nya,
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam
Saqar (neraka)? Mereka menjawab, ’Kami dahulu tidak termasuk orang-orang
yang mengerjakan shalat dan kami tidak pula memberi makan orang miskin dan
adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang
membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir : 42-45)
Resep agar tidak bersifat keluh kesah lagi kikir
juga sangat terkait dengan kemampuan seseorang membangun dalam dirinya dua
kesalehan tersebut secara simultan. Allah SWT memberi jaminan,
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan
shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang dalam
hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan orang
yang tidak memiliki apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij : 22-25)
Berapa banyak dari umat ini yang hanya
mementingkan saleh secara sosial tapi lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT.
Sebaliknya, banyak juga yang saleh secara personal namun ketika berhadapan
dengan sosial, ia larut dan tidak mampu membangun kesalehan di
tengah-tengah mereka. Sungguh umat ini sangat membutuhkan kehadiran
komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik
dengan Allah SWT. Saleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik
dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. (Allahu a’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda posting komentar